Powered By

Free XML Skins for Blogger

Powered by Blogger

blog-indonesia.com

23 Agustus 2008

Senyum dalam Lamunan

Cerpen Ahmad Ikhwan Susilo


Untukmu”, dua lembar uang lima puluh ribuan itu diberikannya kepadaku. Aku terima uang itu tanpa banyak kata. Hanya ucapan terima kasih, itupun lirih kuucapkan. Sudah lama sekali aku tak pernah datang ke rumah ini. Rumah ayahku. Rumah keluarga barunya. Istri baru, anak-anak baru, suasana baru, kehidupan serba baru. Ah, betapa bahagianya ayahku saat ini. Semoga masa lalunya bisa terkubur pelan-pelan.


Aku masih saja mematung dalam dudukku. Aku merasa asing. Dan memang, perasaan ini selalu saja hadir tiap kali aku datang ke rumah ini, seperti tahun lalu. Sekarang rumah ini sungguh berbeda. Banyak renovasi di sana-sini. Rumah ini tersulap menjadi rumah modern. Semakin nyaman dihuni. Sungguh berbeda dengan rumah warisan gono-gini yang kami tempati. Namun, tetap saja aku merasa asing. Asing di rumah ini. Asing dengan keluarga baru ayahku. Bahkan, asing dengan ayahku sendiri.


Kau kemana saja tak pernah kelihatan?”, suara seorang perempuan berseloroh dari dalam kamar sambil melihat TV. Istri baru ayahku. Aku cukup terkaget. Lamunanku membuyar.


Lagi sibuk kerja”, jawabku singkat. Tidak ada dialog lagi. Suasana kembali hening. Seandainya keponakanku tidak sakit, tentu aku tak akan mau disuruh kakakku mengantar titipan ini. Kakakku tahu bahwa aku enggan ke rumah ini. Bertemu ayah, bertemu keluarga baru ayah. Kakakku mengiba dan aku tak bisa menolaknya.


Aku ingin cepat-cepat pulang. Aku sudah tidak mampu lagi berlama-lama di rumah ini. Aku sungguh tersiksa. Tersiksa dengan segala beban-beban dan dosa-dosa masa lalu. Entah kenapa setiap kali aku bertemu dengan ayahku di rumah ini, beban-beban dan dosa-dosa itu selalu saja muncul dalam anganku. Itulah salah satu sebab kenapa dari dulu – bahkan sekarang – aku tak pernah mau dekat dengan ayah.


Amanah kakakku sudah aku sampaikan. Aku mencari-cari alasan untuk segera pulang. “Saya pamit, soalnya mau kerja. Masuk malam”, kataku berbohong. Ayah hanya diam tanpa banyak kata. Ia terus saja menatapku. Tak kutahu sedikitpun makna tatapan itu. Aku merasa dilema penuh kenaifan. Sungguh aku tak mampu berlama-lama lagi. Tanpa basa-basi lagi segera kuhidupkan motor lalu pergi meninggalkan rumah ini. Aku merasa lega. Namun, aku masih saja melamun...selengkapnya

Katup Mata Mak

Cerpen Ahmad Ikhwan Susilo


Kali ini kuberanikan untuk menatap mata Mak dalam-dalam. Hal yang tak pernah kulakukan sebelumnya seumur hidupku. Sungguh aku merasa tanpa daya melihatnya. Sampai hari ini aku belum sanggup membuat Mak bahagia. Maafkan aku Mak, aku berjanji suatu saat nanti aku pasti akan membahagiakanmu. Aku menangis dalam hati. Mak pun akhirnya tertidur...


Aku mulai tenang melihat Mak tidur. Paling tidak bebanku berkurang. Dan sudah menjadi kebiasaan Mak kalau dia punya masalah yang tak kunjung ada jalan keluar dia selalu tidur. Mak tak kuat harus berlarut-larut dalam kesedihan. Apalagi kerasnya hidup membuat Mak harus bertahan. Semua harus dihadapi. Semua harus dijalani. Mak terus tegar. Mak selalu sabar. Itu yang aku bangga dari Mak.


Kulangkahkan kakiku pelan keluar rumah. Malam ini dingin luar biasa. Di atas bulan tampak bulat sebulat-bulatnya dengan sinar peraknya yang begitu terang menerangi. Menyenangkan untuk dinikmati. Kusempatkan menengok gubuk tempat tinggal kami. Aku berpikir sejenak, kapan aku bisa membuatkan rumah gedung buat Mak? Rumah yang lebih nyaman untuk dihuni. Tidak bocor saat hujan. Tidak lembab bau lumpur. Tampak bagus dan kokoh. Paling tidak seperti rumah kang Naryo. Memang diantara anak-anak Mak, hanya kang Naryo yang bernasib mujur dan sukses. Hidup di kota dan menjadi pegawai bank. Punya istri cantik dan anak yang sehat pula.


Selama ini kepada kang Naryolah Mak selalu meminta bantuan. Apalagi kalau Mak sudah tidak punya uang atau sedang jatuh tempo bayar hutang ke bank plecit. Sedang waktu panen masih lama dan sisa panen sudah habis terjual untuk biaya tanam dan makan sehari-hari, juga bayar hutang sana-sini. Seperti saat ini. Mulanya kang Naryo tak berkeberatan. Namun, lama-kelamaan ada nada kurang menyenangkan dari kang Naryo. Walaupun Mak tak memintanya terus-menerus, hanya tempo-tempo tertentu saja saat Mak sedang terdesak, itupun bisa di hitung dengan jari. Mak memaklumi sikap kang Naryo. Dia sudah berkeluarga dan hidup di kota. Tentu kebutuhannya banyak. Mak tak mau merepotkan. Mak kini jarang meminta bantuannya lagi. Dan aku, aku semakin malu kepada Mak. Aku merasa sungguh tak berguna...selengkapnya

22 Agustus 2008

Seorang Penipu yang Menipu dan Orang-Orang Tertipu

Cerpen Ahmad Ikhwan Susilo


Tolonglah saya. Saya sangat butuh pertolongan sudara. Hanya sudara yang mampu menolong saya. Malam ini saya tunggu di kedai kopi yang biasa sudara satroni tiap malam. Pesan singkat yang baru saja masuk ke handphone-ku tadi sedikit mengusik. Tak jelas siapa nama pengirimnya dan dari mana dia tahu nomorku. Bisa dipastikan orang-orang di kedai yang memberinya. Namun, kenapa dia sangat butuh pertolonganku? Kenapa dia yakin hanya aku yang mampu menolongnya? Ah, ada apa lagi ini...


Hampir tiap malam selalu kuluangkan waktuku untuk minum kopi di kedai ini. Kedai yang letaknya di pojok perempatan pasar kota. Selain rasa kopinya yang pas di lidahku, ada hal lain yang membuatku terpikat dengan kedai ini. Tak lain adalah cerita para pengunjung kedai. Orang-orang yang datang selalu membawa cerita mereka masing-masing. Tak heran kalau kedai ini tidak pernah kehabisan cerita saban malamnya. Mereka selalu bercerita dengan bebasnya. Membuat mereka yang sebelumnya tidak mengenal atau dikenal saling berkenal satu sama lain. Akhirnya, kedai ini menjadi tempat curahan cerita-cerita mereka melepaskan segala masygul, gelak tawa, dan beban-beban.


Anehnya lagi para pengunjung itu selalu senang tiap kali aku datang ke kedai ini. Bahkan mereka rasa kurang khidmat cerita mereka jika aku tak datang mendengarnya. Memang, tiap kali selesai mendengar cerita mereka, aku selalu menyempatkan untuk menuliskannya. Biasanya cerita-cerita itu aku kirimkan ke koran-koran lokal. Mereka senang bukan main bila salah satu cerita dari mereka yang aku tulis muncul di koran tiap minggu. Jangan heran kalau dinding-dinding kedai ini banyak tertempel potongan koran yang berisi cerita para pengunjung kedai. Itu sebabnya kehadiranku selalu dinantikan. Mereka yang berharap cerita-ceritanya aku tulis...selengkapnya

16 Agustus 2008

Hari Bahagia Buat Mak Mar

Sudah tiga puluh lima tahun lebih rumah itu masih terlihat sama. Sebuah rumah yang sangat sederhana yang – bisa dikatakan mirip gubuk reot – kokohnya luar biasa. Padahal pondasi rumah itu hanya tersusun dari batu bata berperekat tanah liat bukan semen. Dinding rumah sama sekali tidak bertembok seperti rumah-rumah gedung milik tetangga di samping kiri-kanan. Melainkan terbuat dari gedhek. Tak sedikit pun terlihat adanya rombakan total dari rumah itu, hanya saja bagian-bagian kecil yang selalu dibenahi, seperti genteng yang telah aus dimakan cuaca, dan jika musim penghujan tiba seisi rumah disibukkan mencari bak atau ember penadah air hujan karena genteng yang bocor di sana-sini. Bukannya tidak mau atau tidak ada niat untuk merombaknya, tetapi apa daya jika uang tidak ada. Bisa makan sehari-hari dan menyekolahkan anak-anaknya saja sudah bersyukur. Cuma setahun sekali diwaktu lebaran tiba rumah itu tampak cerah berbinar dan tersenyum ramah pada siapa saja yang datang bersilaturrahmi. Sapuan putih kapur gamping membuat rumah itu tampak muda lagi.


Wanita itu akrab disapa Mak Mar dan suaminya yang renta bernama Pak Kasim. Mereka bukan petani, bukan pula buruh tani. Pekerjaannya cuma membuat emping dan pulii. Dari situlah ia mendapat uang untuk memenuhi kebutuhan sehari-harinya. Mereka tidak punya sawah untuk digarap. Hanya kebun warisan belakang rumah yang tidak begitu luas, tetapi cukup bermanfaat untuk menambah penghasilan, yang ditanami pohon pisang, ketela, bentol, melinjo, pohon kelapa dan beberapa pepohonan penghasil kayu. Selain itu, mereka juga mempunyai ternak yang dipelihara. Dulu ternak yang dimiliki tidak sekedar ayam dan kambing, melainkan juga sapi. Tetapi, semua sapi-sapi itu telah habis terjual untuk biaya kelahiran anaknya yang ke enam dan ke tujuh. Sungguh betapa bahagianya mak Mar waktu itu ketika ia melahirkan anak terakhirnya dengan selamat, dan segera sang suami menggendong si jabang bayi yang baru lahir itu, lalu mengumandangkan adzan di sampingnya. Kini, ternak yang tersisa hanya lah beberapa ekor kambing dan ayam kampung serta burung dara yang masih dipelihara...selengkapnya

02 Agustus 2008

Olimpiade Beijing, Termahal Sepanjang Sejarah


Tinggal sepekan lagi Olimpiade musim panas ke-29 digelar di Kota Beijing, Tiongkok. Penyelenggaraannya resmi digelar mulai 8 Agustus. Hari-hari terakhir ini merupakan pengecekan terakhir untuk Beijing Organizing Committee of the 29th Olympic Games (BOCOG). Pemerintah Kota Beijing pun memeriksa setiap detail dari persiapan yang telah berlangsung sejak tujuh tahun lalu. Tak hanya memeriksa kesiapan lokasi pertandingan dan SDM pendukungnya, mereka bahkan juga mengawasi perubahan cuaca yang bakal terjadi. Presiden Tiongkok Hu Jintao memang telah memerintahkan masyarakatnya untuk mengamankan jalannya Olimpiade agar sukses.


Tiongkok tegar bertahan dari berbagai masalah yang menaungi negeri itu sejak resmi ditunjuk sebagai tuan rumah Olimpiade pada 2001. Padahal mereka sempat diganggu dengan isu hak asasi manusia (HAM) yang cukup menghambat perjalanan obor Olimpiade, kemudian gempa hebat Mei lalu yang menewaskan banyak warga di Kota Shicuan, serta inflasi yang cukup tinggi.


Tiongkok memang berambisi menjadikan Olimpiade di negerinya sebagai pesta olahraga dunia paling hebat dan terbesar sepanjang sejarah. Hal itu mungkin tercapai untuk kategori besarnya pengeluaran dana untuk persiapan. Untuk penyelenggaraan ajang ini, mereka mengalahkan tuan rumah Olimpiade 2004, Athena (Yunani). Dana yang dikeluarkan untuk persiapan hingga penyelenggaraan Olimpiade Beijing mencapai lebih dari US$ 42 miliar atau sekitar Rp 378 triliun, sementara Yunani hanya mengeluarkan dana sebesar US$ 16 miliar atau sekitar Rp 144 triliun. Olimpiade Sydney pun hanya menghabiskan dana US$ 2,6 miliar atau sekitar Rp 23 triliun dengan kurs hari ini.


Menurut BOCOG, untuk membangun sebanyak 12 stadion baru, dibutuhkan dana sebesar 13 miliar yuan atau US$ 1,9 miliar atau sekitar Rp 17 triliun. Dari dana yang disiapkan Pemerintah Tiongkok dan pihak swasta untuk pembangunan stadion tersebut, jumlah terbesar dikeluarkan untuk pembangunan Stadion Utama Beijing yang dikenal dengan julukan sarang burung (Bird's Nest). Stadion utama yang memiliki kapasitas 91.000 tempat duduk, telah dinyatakan selesai bulan lalu.


Tiongkok juga menghabiskan miliaran dolar untuk proyek infrastruktur baru seperti pembuatan terminal bandara berbentuk naga yang membutuhkan dana sebesar US$ 4 miliar atau sekitar Rp 42 triliun dan pembangunan subway ekstra. Pertengahan Juli kemarin, Beijing telah memperbanyak jalur rel kereta. Sekarang, ada delapan jalur dengan total panjang lintasan mencapai 200 kilometer (sebelumnya 142 kilometer). Jalur baru pertama terhubung dengan terminal (yang juga baru dibangun) bandara Beijing. Terminal ini memang disiapkan sebagai bagian dari pembangunan infrastruktur Olimpiade.


Pembangunan jalur kereta baru dilakukan karena tingkat kemacetan jalan raya dari dan ke bandara biasanya sangat padat. Perjalanan menggunakan mobil pribadi atau taksi bisa memakan waktu dua jam. Dengan kereta jalur baru, masyarakat bisa pergi pulang bandara hanya dalam waktu 20 menit.


Jiang Xiaoyu, seorang ofisial senior komite penyelenggaraan Olimpiade Beijing, yakin segala persiapan telah dilakukan dengan baik.


Pernyataan senada diungkapkan Direktur Komunikasi Komite Olimpiade Internasi- onal (IOC), Giselle Davies. [Berbagai Sumber/SRA/W- 11/L-9]


Sumber : Suara Pembaruan Daily