Powered By

Free XML Skins for Blogger

Powered by Blogger

blog-indonesia.com

09 Maret 2009

PATHWAY OF REGGAE

Oleh Bashito


Aku milik alam dan alam milikku. Aku raja yang dilahirkan tanpa kerajaan, Aku pejuang tanpa batas dan diperjuangkan walau tidak ada, maka aku selalu mati dalam kehidupan agar kematianku selalu jadi kehidupan.


Inilah aku dalam takdir, aku memiliki cinta dan dicinta untuk mencintai yang terhormat dan yang termulia. Dengan nafas dan nyawa dan Tuhan sebagai penunjuk jalan walau aku sering bertindak tidak wajar, inilah aku sebagai tameng manusia terhadap apa yang aku lihat. Karena takdirku aku akan mengubah sejarah dan sejarah akan merubah caraku berpandang. Dengan ini hari aku bukan siapa-siapa yang akan membawaku ke suatu tempat yang aku sendiri tidak tahu, karena yang aku tahu hanya yang aku lihat dan aku rasa, dan tak pernah dirasa oleh siapa-siapa. aku hanya lilin kecil yang berpijak pada tanah, sementara bumi bercahaya terhadap ciptaan.


Long live Rasta and for Rasta I live – RASTA FAMILY JAKARTA



Reggae adalah seperti sebuah negara kecil nan damai, reggae tumbuh dalam hati manusia-manusia yang menjalankan ritual musiknya. Dimanapun mereka berada, Aliran musik yang kita sadap dan adopsi dari negeri Jamaika hingga menyebar keseluruh penjuru dunia yang memadukan beberapa unsur musik dari Ska, Ragga, Blues, dan Jazz hingga tercipta irama reggae, sampai pada telinga kita umumnya masyarakat kota kecil yang jauh dari tempat asal musik itu sendiri dan khususnya pada pecinta musik reggae yang menyebar di pare dan sekitarnya.


Sementara existensi Paguyuban reggae sendiri memiliki motivasi yang sederhana, yaitu menyatukan jiwa-jiwa penikmat reggae entah itu yang menganggap reggae sekedar hiburan ataupun sampai pada panggilan jiwa, yang artinya sudah memahami sedikit banyak tentang reggae dan rastafari. Di satu sisi Paguyuban reggae Pare mengangkat musik reggae sebagai bagian filosofi yang positive dengan tujuan terwujudnya hak asasi dan kebebasan manusia dalam berekspresi dan mengeksplorasi diri dalam bentuk kreatifitas positive tanpa memandang dari mana mereka berasal.


Seperti yang kita ketahui, Indonesia begitu luas, dari sabang sampai merauke, dari selatan Timor sampai utara Talaut,warna-warni beragam budaya, bahasa, ada di dalamnya,adat istiadat dari yang tradisional sampai modern menyebar di bumi nusantara.Warisan dari zaman ke zaman masih dipertahankan dari generasi ke generasi walau sebagian mulai pudar karena pengaruh budaya luar yang masuk ke tanah air kita, dan secara tidak langsung telah mempengaruhi gaya hidup dan kehidupan sosial yang majemuk serta mewarnai perkembangan kebudayaan bangsa indonesia dalam beberapa dekade terakhir. Persilangan penduduk, urbanisasi dan mulainya kesadaran diri masyarakat kita tentang ragam budaya bangsa ini telah membawa kita pada satu titik pilihan dalam menentukan sikap.


Sekali lagi paguyuban reggae yang bermuara di Pare telah berusaha memberikan sumbangsih pada perkembangan seni dan budaya tanah air, dengan mengajak pecinta reggae seluruh jawa timur untuk (guyub rukun) menyatu dalam damai seperti semangat reggae itu sendiri yang selalu menyerukan kedamaian. Dan memperkenalkan daerah jawa timur ke kancah nasional atau ke mata internasional.



SALAM BUDAYA


Penggagas Paguyuban Reggae Jawa Timur

08 Maret 2009

OBROLAN

Oleh Bungkapit 21


“Gagasan besar lahir dari obrolan…”


Sepulang “mangkal” dari warung kopi di Garuda, dengan menaiki motor, tanpa sengaja saya membaca sebait kalimat tersebut tertulis dalam kaos hitam milik orang yang berlalu di depan saya. Selintas bait tersebut tak begitu menarik perhatian saya. Namun, dalam sekejap bait tersebut memberikan satu kesadaran, satu “pertanda” bahwa memang ide-ide besar kadangkala lahir dari sebuah obrolan ringan; sambil meminum kopi, menghisap sebatang rokok atau bisa juga sambil menikmati selepek jadah bakar. Percaya atau tidak? seringkali tanpa disadari seperti itulah kenyataannya. Obrolan mampu menciptakan mimpi, obrolan mampu memberikan jalan keluar, obrolan mampu memberikan motivasi dan obrolan pun mampu membuat seseorang meraih takdir.

Adalah Santiago seorang anak lelaki penggembala dan pengelana – dalam novel Sang Alchemist karya Paulo Coelho – yang tiba-tiba resah dengan mimpi-mimpinya yang datang berulang-ulang: mimpi tentang harta karun. Karena terlalu resahnya, dia menemui seorang perempuan tua peramal untuk menafsirkan mimpinya tersebut. Jawaban yang diperolehnya tidak begitu memuaskan, justru semakin meresahkan dan membuatnya bertanya-tanya. Sampai akhirnya, di sebuah kedai dia bertemu dengan seorang lelaki tua yang bernama Melkisedek. Dari obrolan dengan lelaki tua inilah Santiago dihantar untuk mewujudkan mimpi dan meraih takdirnya.

Memang tidak mudah mewujudkan sebuah mimpi. Awalnya seseorang akan mendapatkan keberuntungan awal dari mimpi yang diangankannya. Di titik inilah keyakinan dan optimisme dirangsang. Namun kemudian yang terjadi adalah banyaknya jalan berliku dan tantangan yang harus dihadapi. Semakin sulit dan berat halangan yang mendera, semakin dekat pula mimpi tersebut di depan mata. Kekuatan negativ inilah yang sebenarnya menjadi daya magis yang mendorong seseorang agar bertahan mewujudkan mimpinya tersebut. Karena ketika keyakinan untuk meraih sesuatu begitu kuat tertanam dalam hati, maka segenap alam pun akan bersatu membantu mewujudkannya. Begitulah yang terjadi dengan Santiago. Sampai kemudian dia bertemu dengan Sang Alchemist. Dengan segelas anggur sambil menikmati pemandangan gurun di malam hari berterang cahaya bulan yang mewujud penuh, Santiago banyak belajar dari nasehat-nasehat dan pentunjuk-petunjuk Sang Alchemist. Dari nasehat dan petunjuk serta pengelanaannya dengan Sang Alchemsit, Santioago akhirnya berhasil mewujudkan mimpi dan meraih takdirnya.

Membaca sebait kalimat di atas pun membuat saya tersenyum. Memaksa saya untuk merefleksi diri. Betapa banyak “pertanda-pertanda” yang datang dan pergi begitu saja dari buah nongkrong di beberapa warung kopi dan tempat ngobrol lainnya. Yang kadangkala diantaranya saya sadari dan tidak sedikit pula yang saya acuhkan. Banyaknya “pertanda” yang saya acuhkan tadi bisa jadi karena kekurang pekaan saya untuk membaca “pertanda” tersebut, yang sebenarnya menjadi maktub dalam hidup saya.

Ah, saya jadi teringat definisi klasik Aristoteles tentang hakikat manusia bahwa dia adalah makhluk hidup yang memiliki logos. Dimana dalam tradisi barat didefinisikan sebagai animal rationale, makhluk rasional dengan kemampuannya untuk berpikir yang membedakan dengan makhluk lain. Namun, sesungguhnya makna pertama dari logos ini adalah bahasa. Artinya, bahwa manusia adalah makhluk yang memiliki bahasa. Karena itu, sepertinya saya harus belajar lebih peka lagi terhadap bahasa kehidupan. Agar saya lebih mampu dengan jeli melihat dan membaca “pertanda-pertanda” di setiap obrolan dengan Sang Alchemist-Sang Alchemist di sekitar saya yang mampu melahirkan gagasan-gagasan besar untuk perubahan. Dengan keniscayaan dan ainul yaqin dalam hati, setiap mimpi saya pasti bisa terwujud dan takdir bisa saya raih. Karena saya tidak mau menyerah pada nasib. Bagaimana dengan sampeyan?