Powered By

Free XML Skins for Blogger

Powered by Blogger

blog-indonesia.com

23 Agustus 2008

Katup Mata Mak

Cerpen Ahmad Ikhwan Susilo


Kali ini kuberanikan untuk menatap mata Mak dalam-dalam. Hal yang tak pernah kulakukan sebelumnya seumur hidupku. Sungguh aku merasa tanpa daya melihatnya. Sampai hari ini aku belum sanggup membuat Mak bahagia. Maafkan aku Mak, aku berjanji suatu saat nanti aku pasti akan membahagiakanmu. Aku menangis dalam hati. Mak pun akhirnya tertidur...


Aku mulai tenang melihat Mak tidur. Paling tidak bebanku berkurang. Dan sudah menjadi kebiasaan Mak kalau dia punya masalah yang tak kunjung ada jalan keluar dia selalu tidur. Mak tak kuat harus berlarut-larut dalam kesedihan. Apalagi kerasnya hidup membuat Mak harus bertahan. Semua harus dihadapi. Semua harus dijalani. Mak terus tegar. Mak selalu sabar. Itu yang aku bangga dari Mak.


Kulangkahkan kakiku pelan keluar rumah. Malam ini dingin luar biasa. Di atas bulan tampak bulat sebulat-bulatnya dengan sinar peraknya yang begitu terang menerangi. Menyenangkan untuk dinikmati. Kusempatkan menengok gubuk tempat tinggal kami. Aku berpikir sejenak, kapan aku bisa membuatkan rumah gedung buat Mak? Rumah yang lebih nyaman untuk dihuni. Tidak bocor saat hujan. Tidak lembab bau lumpur. Tampak bagus dan kokoh. Paling tidak seperti rumah kang Naryo. Memang diantara anak-anak Mak, hanya kang Naryo yang bernasib mujur dan sukses. Hidup di kota dan menjadi pegawai bank. Punya istri cantik dan anak yang sehat pula.


Selama ini kepada kang Naryolah Mak selalu meminta bantuan. Apalagi kalau Mak sudah tidak punya uang atau sedang jatuh tempo bayar hutang ke bank plecit. Sedang waktu panen masih lama dan sisa panen sudah habis terjual untuk biaya tanam dan makan sehari-hari, juga bayar hutang sana-sini. Seperti saat ini. Mulanya kang Naryo tak berkeberatan. Namun, lama-kelamaan ada nada kurang menyenangkan dari kang Naryo. Walaupun Mak tak memintanya terus-menerus, hanya tempo-tempo tertentu saja saat Mak sedang terdesak, itupun bisa di hitung dengan jari. Mak memaklumi sikap kang Naryo. Dia sudah berkeluarga dan hidup di kota. Tentu kebutuhannya banyak. Mak tak mau merepotkan. Mak kini jarang meminta bantuannya lagi. Dan aku, aku semakin malu kepada Mak. Aku merasa sungguh tak berguna...selengkapnya

Tidak ada komentar: