Powered By

Free XML Skins for Blogger

Powered by Blogger

blog-indonesia.com

25 September 2008

"Nasionalnya" Pendidikan Kita

Oleh : Agus Suwignyo
Dikutip dari  Kompas Rabu, 24 September 2008


Tulisan mantan Mendikbud Daoed Joesoef tentang pentingnya perumusan kembali ”konsep idiil yang mendasari” sistem pendidikan kita (Kompas, 3/9/2008), disambut takzim fisikawan-etikawan Liek Wilardjo dengan menyebutnya ”wejangan Resi Seta yang turun dari pertapaan Pareanom” (Kompas, 11/9/2008).

Pak Daoed menegaskan, ”Dengan predikat nasional, fungsi pendidikan jelas berdimensi nasional (kepentingan negara-bangsa) selain individual (hak warga negara perseorangan).” Pak Liek menyahut, ”Sudah saatnya kita mempunyai konsep pendidikan nasional yang jelas”.

”Percakapan” dua begawan itu layak dikembangkan karena menyegarkan pemikiran ke arah pembaruan konstruksi nasional pendidikan Indonesia.

Setidaknya selama sepuluh tahun terakhir, kita terjebak hiruk-pikuk—meminjam istilah pedagog senior Mochtar Buchori—aneka persoalan ”hilir” dan mengabaikan aneka pemikiran dasar yang memberi arah kebijakan dan praktik pendidikan nasional.

Ambil contoh, perkara ujian nasional, buku pelajaran, dan sertifikasi guru dikaji dalam bingkai kritik ketidaksigapan pemerintah merespons permasalahan terkini. Namun, kajian sering terisolasi dari konteks makro arah pendidikan. Sejauh mana silang pendapat tentang perkara itu mencerminkan relevansi dan makna ”kenasionalan” sistem pendidikan kita masih relatif kabur.

Akibatnya, upaya menyelesaikan persoalan-lapangan praktik pendidikan tidak menyentuh akar masalah. Perkara UN, misalnya, justru kian rumit (dan ruwet) akibat terlepasnya substansi kontroversi dari tolok ukur ”kenasionalan” sistem pendidikan. Di sisi lain, proses pendidikan (kian) dikeluhkan menciptakan beban sosial—alih-alih kekuatan transformatif masyarakat.

Trisila imperatif

Hal amat krusial yang seharusnya dijiwai—tetapi nyata-nyata telah diabaikan—dalam perumusan kebijakan dan praktik pendidikan kita adalah prinsip-prinsip yang mendasari dan memberi karakter ”nasional”-nya sistem pendidikan. Secara historis, prinsip-prinsip itu mencakup pemerataan, integrasi, dan kemandirian.

Sejak SD kita tahu, gagasan pemerataan sebagai prinsip pendidikan Indonesia merupakan reaksi langsung terhadap sistem pendidikan kolonial yang segregatif dan diskriminatif.

Tokoh-tokoh, seperti Dwidjo Sewojo, RA Kartini, KH Dewantara, KH Ahmad Dahlan, Moh Sjafei, Moh Yamin, dan Moh Hatta, berjuang demi sistem pendidikan nasional yang merengkuh warga negara tanpa pembedaan kelas. Proklamasi Kemerdekaan melahirkan kesamaan hak warga atas pendidikan melalui jaminan konstitusi.

Meskipun demikian, dalam konteks kemerdekaan, pemerataan pendidikan bukan semata-mata perkara hak warga yang pemenuhannya menjadi kewajiban negara.

Khusus untuk konteks Indonesia, pemerataan bersifat imperatif demi terbentuknya sikap individu-individu sebagai kesatuan warga dalam wadah negara.

Dengan makna itu, pemerataan pendidikan merupakan medium terwujudnya integrasi keindonesiaan.

Artinya, ketika prinsip pemerataan pendidikan diabaikan, yang terjadi bukan hanya pelanggaran hak warga, tetapi juga ancaman terhadap integrasi kebangsaan kita.

Karena itu, evaluasi atas berbagai kebijakan strategis, seperti UN, tidak cukup ditempatkan dalam bingkai isu-isu implementasi kebijakan, misalnya menyangkut keadilan sosial dan tanggung jawab pemerintah. Evaluasi harus menyentuh peran dan kepentingan negara dalam berbagai kebijakan strategis pendidikan.

Kemandirian

Selain pemerataan dan integrasi, fondasi filsafati penting dari ”nasionalnya” sistem pendidikan kita adalah kemandirian. Penekanan pada kemandirian amat jelas dalam pemikiran tokoh-tokoh pendidikan yang telah disebut.

Demi prinsip kemandirian, misalnya, KH Dewantara menolak bantuan keuangan pemerintah bagi Perguruan Taman Siswa. Begitu pun KH Ahmad Dahlan dan Moh Sjafei bersikap selektif terhadap tawaran bantuan kolonial.

Dalam konteks berbeda pada periode kontemporer, YB Mangunwijaya pernah mengharuskan anak-anak jalanan membayar (meski hanya Rp 25) jika meminjam buku perpustakaan Kali Code karena konsep gratisan dianggapnya menghambat kemandirian dan sense of belonging anak-anak itu.

Contoh-contoh itu menegaskan, kemandirian merupakan elemen krusial harga diri (dignity). Implikasi politisnya, selain mengemban misi memerdekakan cara berpikir dan jiwa anak-anak bangsa (misi mikro), penyelenggaraan pendidikan sebagai tanggung jawab pemerintah juga harus memancing seluas mungkin partisipasi masyarakat (misi makro).

Secara khusus dalam konteks anggaran, skema alokasi dana pendidikan pada APBN 2009 harus jitu dan akomodatif agar merangsang investasi lebih besar pemerintah daerah dan pihak-pihak swasta dalam penyelenggaraan pendidikan.

Hanya dengan kesadaran bahwa pendidikan sebagai hak warga bukanlah sesuatu yang terberi dan taken for granted, tetapi harus diusahakan bersama, kita terbebas dari kekangan paradigma filantropi yang diusung para penggagas Politik Etis 100 tahun lalu.

Agus Suwignyo Pedagog FIB UGM; Sedang Meneliti Sejarah Pendidikan Guru


1 komentar:

distroworld mengatakan...

orang miskin dilarang sekolah!!!