Powered By

Free XML Skins for Blogger

Powered by Blogger

blog-indonesia.com

13 Juni 2008

Media Indie Alternatif Publikasi Karya

oleh : bungkapit

Barangkali banyak dari seorang penulis pemula (seperti saya) sering merasa bingung ketika menghasilkan tulisan untuk kali pertama. Pertanyaan – “Lantas bagaimana setelah tulisan selesai? Kemana saya harus publikasikan tulisan ini apabila media massa sering menolaknya?” – seperti ini sering menjadi momok yang menakutkan dalam diri penulis pemula. Rasa lelah, cemas, rendah diri dan putus asa akibat penolakan yang bertubi-tubi senantiasa menghantui dan mengendorkan semangat untuk menulis. Akhirnya, ketika kita (kalau boleh meng-kita-kan) tidak mampu bertahan oleh kondisi seperti itu sudah pasti akan terlempar keluar dari lingkaran proses ini.

Menulis bagi saya adalah sebuah proses untuk menjadi. Ketika saya banyak berguru pada para penulis yang namanya sering muncul dirubrik budaya dan opini beberapa media massa nasional hampir sepenuhnya selalu menutup nasehat bijaknya dengan kalimat; “terus...terus..terus dan teruslah menulis, entah apapun yang ingin kau tulis, jangan takut ditolak!”. Tidak hanya dari mereka, buku-buku yang beredar dipasaran yang bertemakan tentang cara menulis dan bagaimana menjadi penulis yang baik pada intinya sama, yaitu giat berlatih dan selalu berusaha karena dalam menulis itu 1% adalah bakat dan selebihnya adalah kerja keras.

Banyak sekali kata-kata bijak penulis ternama di negeri ini yang selalu memberikan dorongan kepada para penulis pemula atau orang yang telah menentukan jalan hidupnya sebagai penulis agar selalu dan selalu menulis. Karena bukan sebuah pepesan kosong jika ada sebuah kata bijak yang mengatakan bahwa apapun yang tertulis akan tetap mengabadi dan yang terucap akan berlalu seperti angin.

Sebuah kebanggaan tersendiri bagi para penulis pemula(sekali lagi seperti saya) ketika menghasilkan tulisan untuk pertama kali. Rasa senang, puas, dan optimis bercampur aduk menjadi satu. Hal ini semakin meyakinkan dan menambah rasa percaya diri bahwa “Saya bisa menulis!”.

Namun semua tidak hanya berhenti sampai disini. Kepuasan dalam menulis belum lengkap apabila tulisan itu jadi dan kita nikmati sendiri. Saya mengamini bahwa kepuasan dan kebahagiaan terhadap karya tulis yang dihasilkan adalah ketika ia terpublikasikan, dibaca khalayak banyak, dan diberi tanggapan. Karena saya percaya bahwa dengan menulis – sadar atau tidak – kita telah menyampaikan nilai walaupun bukan bermaksud untuk menggurui. Penulis tidak mempunyai otoritas yang penuh dalam menentukan. Ia sekedar menyampaikan dan akhirnya semua penilaian akan kembali sepenuhnya kepada para pembaca karena merekalah yang lebih mempunyai otoritas itu.

Saya pun percaya tidak ada tiket gratis dalam membuat suatu tulisan. Meneliti, mencari bahan tulisan, membaca, dan waktu adalah harga yang harus dibayar untuk setiap tulisan yang dibuat. Harus ada sesuatu yang saya peroleh dari setiap tulisan yang saya buat tersebut. Itulah yang selalu saya pegang dan membuat saya selalu optimis setiap kali menulis. Sesuatu itu tidak harus berupa materi(baca: uang), walaupun saya tidak munafik terhadap materi tersebut. Paling tidak karya tersebut minimal terpublikasikan, dibaca khalayak, dan diberi penilaian. Tidak hanya abadi terdiam dalam folder-folder komputer atau tertumpuk berbaur dengan buku-buku dalam rak. Dengan cara itulah akan ada suatu penghargaan terhadap setiap tulisan yang dibuat. Bukan sebuah masalah bila penghargaan atau penilaian itu nantinya berupa hujatan atau syukur-syukur berupa pujian. Karena yang terpenting saya mampu menunjukkan pada khalayak banyak atau bahkan dunia bahwa saya juga mampu menulis dan akan menjadi penulis yang baik.

Lantas bagaimana jika semua itu berhenti pada satu titik klimaks; Ditolak oleh media! Kemana saya harus mempublikasikan tulisan saya? Hal seperti ini yang sering mengganggu pikiran saya ketika saya sudah dengan susah payah menghasilkan sebuah tulisan. Semuanya terasa kosong tanpa isi. Tidak hanya itu, rasa optimisme untuk menulis lagi pun menjadi hambar. Tetapi saya yakin inilah bagian dari proses itu. Pilihannya cuma ada dua; bertahan atau terlindas keluar.

Sampai akhirnya datang seorang kawan yang juga suka menulis. Awalnya dia juga mengalami kondisi yang sama seperti yang saya alami. Namun kawan saya yang satu ini jauh lebih baik keadaannya sekarang. Salah satu novel yang ia tulis dan ia selesaikan telah diterbitkan oleh salah satu penerbit di Jogja. Betapa senang tak terkira jika itu saya alami, gumam saya dalam hati pada waktu itu.

Melalui informasi dari teman saya itulah ternyata permasalahan yang saya alami diatas bukanlah sebuah halangan yang begitu signifikan. Selama kita masih terus berupaya dan bekerja keras memutar otak semua masalah pasti akan ada solusinya. Tidak perlu takut dan berpusing ria apabila setiap tulisan yang kita buat berkali-kali ditolak oleh redaksi. Ada satu counter media dimana kita bisa bebas mempublikasikan setiap tulisan yang kita buat dan tidak harus terpatok oleh aturan baku dari sebuah sistem seleksi yang diterapkan oleh berbagai media massa, baik lokal maupun nasional, dalam memilih setiap tulisan yang masuk ke redaksi dan layak untuk dimuat.

Banyak kalangan komunitas penulis yang menyebutnya sebagai Media Indie. Media inilah sebagai sarana alternatif dalam mempublikasikan setiap tulisan yang kita buat. Walaupun sifatnya tidak terlalu komersil bukan berarti setiap tulisan yang dipublikasikan melalui media indie ini tidak mempunyai nilai jual. Ada pasar tersendiri yang menjadi lahan distribusi media seperti ini. Dalam proses pendistribusiannya biasanya dilakukan secara grassroot. Ada pula yang menyebut media indie ini dengan istilah hobinomik. Sebuah istilah yang menjadi trend dan trademark mereka kalangan underground. Media ini tercipta berangkat dari satu hobi yang kemudian dikelola secara maksimal sehingga mempunyai nilai jual tersendiri.

Media indie sekarang sudah menjadi lifestyle ditingkatan kalangan muda yang banyak merasa gerah dengan media massa yang hanya berorientasi ke pasar. Tidak ada suasana baru yang diciptakan atau disediakan oleh media massa lokal maupun nasional. Ide-ide muda dan segar ini selalu mengalir dalam media indie yang dibuat oleh beberapa komunitas dan kalangan grassroot.

Tengoklah beberapa zine yang dibuat oleh komunitas anak-anak punk, underground dan beberapa komunitas penulis yang kini semakin marak terdistribusi di pasar. Tidak hanya itu saja, media indie ini pun juga merambah dunia maya. Banyaknya blog-blog yang dikelola secara personal ataupun kelompok inilah yang kini menjadi media alternatif publikasi karya di internet.

Dari sinilah akhirnya saya tahu bahwa alternatif publikasi karya tidak harus selalu dikirim ke media massa lokal ataupun nasional. Ada satu ruang alternatif publikasi karya yang selalu terbuka lebar dan menjadi ruang pembelajaran untuk selalu menulis. Tidak perlu lagi kita pusing atau bahkan mengalami syndrome rendah diri ketika belum ada satupun tulisan yang termuat di media massa lokal maupun nasional. Selama masih ada rasa optimis dan tetap berusaha bekerja keras untuk selalu menulis dan menjadi penulis yang baik selalu pula ada ruang untuk setiap tulisan yang kita buat. Karena sekali lagi saya mengamini bahwa menulis itu adalah sebuah proses untuk menjadi. Dan media indie adalah ruang alternatif untuk menampung semua karya kita.

***

Kediri, 30 Desember 2007

Tidak ada komentar: