Powered By

Free XML Skins for Blogger

Powered by Blogger

blog-indonesia.com

17 Juni 2008

Kabar Rindu Dari Timur




To          : anginselatan@yahoo.co.id
Date        : 21 Mei 2006 00:05:21
Subject     : Untukmu Di Selatan




Apa kabarmu kawan..?

Sudah sekian lama kita berpisah rindu hati ini untuk beromantisme dengan masa lalu, berbagi cerita dan berdiskusi denganmu melewati malam. Berteman secangkir kopi, sepiring jadah bakar, dan sebungkus rokok kretek Dji Sam Soe di angkringan dekat stasiun Tugu. Sama seperti dulu yang sering kita lakukan semasa mahasiswa ketika gairah muda masih bergejolak dan semangat perlawanan akan sebuah kondisi sosial yang timpang selalu membara dalam hati. Semoga semangat itu tak pernah padam ditelan waktu. Secuil harapanku untukmu. Selalu.

Delapan tahun berlalu tentunya menorehkan kisah yang panjang di antara kita. Banyak orang bilang bahwa hidup itu pilihan dan jejak-jejak langkah kita bebas mengantar kemana kita harus melangkah. Dan pilihanmu adalah kebebasanmu, begitu juga denganku. Kita selalu percaya–dan memang sebuah kenyataan–kawan selalu datang dan pergi layaknya angin yang berhembus sesukanya, kadang dia datang tak disangka lalu lenyap begitu saja ketika kita masih menikmati sentuhan lembutnya.

Ibarat para buruh tani yang karena terlalu seringnya menikmati ketertindasannya, menjadikan itu sebuah keindahan hidup karena mereka meyakini bahwa kekekalan bukan terletak di situ. Dunia ini bagi mereka hanya sebatas dayungan sementara menuju pulau keabadian. Mereka terlalu lelah untuk merubah kenyataan dan hanya bisa pasrah menyerahkan kemerdekaan hidupnya di ping-pong kesana kemari oleh iklim kebijakan para penguasa yang hanya peduli ketika suara mereka dibutuhkan untuk naik singgasana kekuasaan.

Kawan...
Kadangkala aku bertanya dalam hati kecil ini, apa salah jika kita ingin beromantisme dengan bagian sejarah kita di masa lalu yang menjadikan kita bisa seperti ini? Apakah itu terlalu naif jika kita lakukan? Apa lantas absah dibilang “banci” karena sekedar ingin belajar dari sejarah—dan sejenak terbuai dengan kebesaran masa lalu—yang membentuk kita? Atau mungkin orang bisa bilang begitu karena dia terlalu munafik untuk sekedar memanja dirinya dengan buaian imajinasi lampau untuk meraih guargaba di hari depan?

Ooo...kiranya aku tahu sekarang, mungkin—aku paling benci dengan kata ini—mereka mengira bahwa beromantisme cenderung ke watak orang-orang yang oportunis, terlalu terbuai sampai membuat kita insomnia, mabuk dengan kenikmatan dan keindahan kejayaan lampau hingga kita tak sanggup berdiri lagi. Putus asa. Dikalahkan keadaan. Lumpuh akut stadium empat. Atau bisa jadi itu berangkat dari chaos ego dalam diri karena melihat banyaknya seorang kawan diantara kita yang dulu terlalu menonjolkan eksistensinya, sehingga lupa akan tugas, peran, dan posisinya yang sebenarnya.

Tentu tak mudah untuk melupakan sejarah yang telah membentuk kita. Semangat militansi yang mengokohkan karakter tahan banting. Tegar. Tak mudah putus asa. Dan pantang untuk dihempas badai. Bagaimana pondasi kekuatan yang kita bangun dulu telah berdiri kokoh. Semua begitu indah dalam satu kesatuan utuh. Tak terpecah.

Kaupun tentu masih ingat peristiwa malam itu. Ketika sekelompok preman berbaju hitam datang, menyerang rumah tua yang kita huni, ketika kita semua sedang asyik berdiskusi. Semua kalap dirudung ketakutan yang mencekam. Tapi itu tak membuat kita goyah. Malah menjadikannya kekuatan untuk tetap bersatu. Mengobarkan semangat perlawanan.

Delapan tahun silam, kita ikut membentuk sejarah di negeri ini. Berangkat dari kondisi yang semakin tidak jelas. Harga sembako naik dan rakyat semakin terjerat. Dengan dahsyat seluruh elemen massa rakyat bersatu turun ke jalan. Meneriakkan reformasi. Menginginkan perubahan yang lebih baik. Selama tiga puluh dua tahun negeri ini dikuasai oleh rezim otoriter Suharto. Selama itu pula rakyat dibuai dengan kesejahteraan yang semu. Siapa yang berada di garda depan pada waktu itu? Tentu tak lain adalah kita, mahasiswa; generasi muda negeri ini. Dengan gerakan moralnya, kita mampu menumbangkan penguasa orde baru. Namun sayang, perubahan itu harus dibayar dengan darah. Ratusan orang menjadi tumbal reformasi 1998. Inilah catatan hitam dalam sejarah di negeri ini...Selengkapnya

2 komentar:

furi vansky mengatakan...

kabar baik kawan....

entah angin apa yang membawaku berjalan tanpa arah yang membiarkan tangan kapitalisme tetap bertahan,
waktu itu.....
seperti semboyan om sue,,,

dan saat ini masih telintas jelas di benak, romantisme perjuangan masih terasa, simbol-simbol perlawanan yang tertancap....

thanks kawan.....
you are remenber me...
tapi bahasa jangan seperti orang kayak kehausan... hehehe.

salam pembebasan.
perjuangan masih berlanjut di dunia maya..

read and rebel mengatakan...

salam kenal dan salam revolusi,
sungguh mati ingin aku ungkapkan kegetiran nadi dan nurani ketika aku yang masih sangat hijau dan bodoh ini membca tulisan anda dan kawan anda ulianovsky. hanya satu kata dan itu mungkin sangat kurang dalam menyampaikan ekspresi jiwa yang dungu ini: salute! kawan ijinkan saya yang bodoh ini untuk mengatakan bahwa kawan2 seperti andalah memang yang mengukir materia-historis perjalanan republik ini. kawan2 para senior mahasiswa sejati kalian tak lekang oleh waktu, dan pantas diabadikan dalam sejuta lirik lagu cinta, cinta akan rakyat dan kerakyatan. revolusi akan terus berjalan, dan kita (ijinkan saya turut serta) juga harus terus menjaganya. hanya ada satu yang harus membuat tangan kiri kita tertuntuk dan nuruani berhanti berteria: TUhan, Ketika Ia memanggil Kita....
salam revolusi