Powered By

Free XML Skins for Blogger

Powered by Blogger

blog-indonesia.com

23 April 2009

Surat tentang Kebebasan dan Cita-cita

JEPARA, 8 Agustus 1900. Rosa Manuela Abendanon dan suaminya, seorang pejabat Hindia Belanda, Direktur Kementerian Pengajaran, Ibadat, dan Kerajinan, mampir ke kabupaten itu. Mereka bertemu dengan keluarga Bupati RMAA Sosroningrat, termasuk Kartini dan dua saudaranya—Roekmini dan Kardinah—dan menghabiskan dua malam bersama keluarga itu.

Sejak itu, Rosa Manuela Abendanon memperoleh gambaran seorang perempuan ningrat Jawa yang gelisah. Melalui surat-menyurat intensif, ia melihat gairah yang begitu tinggi untuk menuntut ilmu di Negeri Belanda. Juga pandangannya yang kritis terhadap sepak terjang pemerintah Hindia Belanda yang diskriminatif terhadap kaum pribumi di lingkungan sekitar dirinya, dan terhadap budaya aristokratik yang mengekang.


Ya, dia menulis soal kehidupan rakyat yang terbelakang dan minimnya pengajaran bagi para perempuan. Dia menggambarkan penderitaan perempuan Jawa yang terbelenggu oleh tradisi, dilarang belajar, dipingit, dan harus siap berpoligami dengan laki-laki yang tidak mereka kenal. Kartini berbicara tentang keinginannya mendobrak tradisi yang menghambat kemajuan. Dia akhirnya menyimpulkan: pendidikan mutlak perlu untuk mengangkat derajat perempuan Indonesia. Pengajaran kepada perempuan, secara tidak langsung, meningkatkan martabat bangsa.


”Dari perempuanlah pertama-tama manusia itu menerima didikannya, di haribaannyalah anak itu belajar merasa, berpikir, dan berkata-kata,” tulis Kartini dalam suratnya kepada Rosa Manuela Abendanon—lebih dikenal sebagai Nyonya Abendanon.


Empat tahun korespondensi yang luar biasa itu berlangsung. Surat terakhir dikirim pada 7 September 1904, saat Kartini hamil tua. Isinya ucapan terima kasih kepada Nyonya Abendanon atas baju yang dikirimnya untuk anak Kartini yang akan lahir. Sepuluh hari kemudian, Raden Ajeng Kartini wafat.


Surat-surat itu tak cuma disimpan sendiri oleh Abendanon. Tak berapa lama setelah Kartini wafat, Jacques Henry Abendanon menggagas ide untuk menerbitkan surat-surat yang dikirim Kartini dalam bentuk buku. Dari hasil penerbitan buku, diharapkan bisa terkumpul dana untuk mendirikan sekolah seperti dicita-citakan mendiang sahabatnya itu. Maka kemudian terbitlah sebuah buku berbahasa Belanda berjudul Door Duisternis Tot Licht pada April 1911. Buku itu tidak cuma berisi surat-surat Kartini yang diterima keluarga Abendanon, tapi juga surat-surat putri Jawa itu kepada beberapa sahabatnya.


Perempuan yang lahir pada 21 April 1879 di Mayong, Jepara, itu memang tak pernah berhenti menulis. Semasa hidupnya yang singkat, dia membuat ratusan surat. Ketika jutaan orang Indonesia buta huruf pada akhir abad ke-19 itu, kemampuan Kartini dalam membaca dan mengolah tulisan terbilang istimewa. Kartini memang sempat menamatkan pendidikan di Europe Lagere School, yang memakai bahasa pengantar Belanda—suatu kesempatan yang amat langka bagi gadis pribumi.


Surat yang dia tulis itu kebanyakan ditujukan kepada para sahabat penanya, yang sebagian besar orang Belanda. Sahabat pena pertamanya adalah Stella M. Zeehandelaar, yang dikenal melalui majalah De Hollandse Lelie, majalah wanita yang waktu itu amat populer di Negeri Belanda. ”Panggil aku Kartini saja,” begitu tulis Kartini dalam surat perkenalannya kepada perempuan Belanda keturunan Yahudi itu.


Stella adalah anggota militan pergerakan feminis di Negeri Belanda saat itu. Ia bersahabat dengan Ir H.H. van Kol, Wakil Ketua Partai Sosialis Belanda (SDAQ) di Tweede Kamer (Parlemen). Van Kol dan istrinya kemudian juga menjadi sahabat Kartini. Sahabat pena Kartini yang lain adalah Nyonya M.C.E. Ovink, istri asisten residen yang pernah bertugas di Jepara, serta Dr N. Adriani, ahli bahasa yang gemar surat-menyurat.


Tak semua surat yang dikirimnya dipublikasikan. Stella, yang diduga punya 20 surat Kartini, hanya meminjamkan 14 pucuk. Ada pula yang enggan meminjamkan sama sekali. Buku Door Duisternis Tot Licht akhirnya hanya memuat 100 surat, dan 53 di antaranya merupakan surat Kartini untuk Tuan dan Nyonya Abendanon. Walau begitu, buku ini cukup laris untuk ukuran saat itu. Tulisan-tulisannya dibaca oleh peminat masalah kebebasan perempuan. Dalam dua tahun dicetak ulang dua kali dengan jumlah oplah 8.000 eksemplar, sampai 1976 buku itu sudah naik cetak lima kali.


Door Duisternis Tot Licht menarik juga perhatian dunia internasional. Berturut-turut majalah Atlantic Monthly di New York pernah menerbitkannya dalam terjemahan bahasa Inggris, kemudian menerbitkannya khusus dalam bentuk buku dengan Judul Letters of a Javanese, yang diterjemahkan oleh Agnes Louise Syammers pada 1920.


Di Indonesia, pada 1922, oleh Empat Saudara, Door Duisternis Tot Licht disajikan dalam bahasa Melayu dengan judul Habis Gelap Terbitlah Terang: Boeah Pikiran. Buku ini diterbitkan oleh Balai Pustaka. Habis Gelap Terbitlah Terang juga dipakai Armijn Pane sebagai judul ketika menerjemahkan buku itu pada 1938. Buku setebal 214 halaman itu disajikan dalam format berbeda dengan buku-buku sebelumnya. Ia membagi kumpulan surat-surat tersebut ke dalam lima bab pembahasan. Menurut sastrawan pelopor Pujangga Baru itu, surat-surat Kartini dapat dibaca sebagai sebuah roman kehidupan perempuan.


Sejarawan George McTurnan Kahin, penulis buku Nationalism and Revolution in Indonesia, mengatakan bukan Budi Utomo pelopor pembaruan pendidikan di Indonesia, melainkan Kartini. Profesor Ahmad M. Suryanegara, dalam buku Menemukan Sejarah, menuturkan Kartini tidak hanya berjuang untuk perempuan, tapi juga untuk membangkitkan bangsanya dari kehinaan.


Pemikiran Kartini yang tertuang lewat surat-suratnya memang tak terungkap secara lengkap. ”Surat-surat Kartini dalam Habis Gelap Terbitlah Terang laksana sumur yang dipenuhi gagasan-gagasan progresif yang menjangkau masa depan,” kata Menteri Pemberdayaan Perempuan Meutia Hatta beberapa waktu lalu.


Di samping Habis Gelap Terbitlah Terang, surat-surat Kartini muncul dalam bentuk lain. Pramoedya Ananta Toer, misalnya, menulis buku Panggil Aku Kartini Saja. Profesor Sulastin Sutrisno, guru besar dari Universitas Gadjah Mada, selanjutnya menerjemahkan versi lengkap Door Duisternis Tot Licht, yang diterbitkan dengan judul Surat-surat Kartini pada 1979. ”Dengan diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, surat-surat Kartini akan dapat dibaca oleh banyak orang,” kata Sulastin saat itu.


Buku lain yang berisi terjemahan surat-surat Kartini adalah Letters from Kartini, An Indonesian Feminist 1900–1904. Penerjemahnya Joost Coté. Ia tidak hanya menerjemahkan surat-surat yang ada dalam Door Duisternis Tot Licht versi Nyonya Abendanon, tapi juga semua surat asli Kartini pada keluarga Abendanon. Termasuk surat hasil temuan terakhir, Desember 1987.


Pada buku terjemahan Joost Coté, memang ditemukan surat-surat yang tergolong ”sensitif” dan tidak ada dalam Door Duisternis Tot Licht versi Abendanon. Buku itu mencakup 108 surat dan kartu pos Kartini kepada Nyonya Rosa Manuela Abendanon-Mandri dan suaminya, J.H. Abendanon, serta surat-surat yang dibuat Roekmini, Kardinah, Kartinah, dan Soematrie. Seperti kata Joost Coté, seluruh pergulatan Kartini dan penghalangan pada dirinya memang sudah saatnya diungkap.