Powered By

Free XML Skins for Blogger

Powered by Blogger

blog-indonesia.com

13 Desember 2008

Identitas Perempuan dalam Kultur Kontemporer

Oleh: Ahmad Ikhwan Susilo



“Jika engkau melihat wanita sebagai subyek, maka itu adalah rasa perkawanan.

Jika engkau melihat wanita sebagai obyek maka sesungguhnya itu hawa nafsu. Sebaliknya jika engkau melihat wanita sebagai subyek sekaligus obyek maka itu adalah rasa cinta...”(entah siapa)



Globalisasi dengan kekuatan teknologi dan informasi yang semakin lama semakin maju pesat telah membuat sekat budaya yang dulu masih tertutup kini mengalami pergeseran menjadi ruang yang lebih terbuka. Pergeseran ini memunculkan perubahan yang sangat signifikan. Arus transformasi nila-nilai budaya yang terjadi telah memunculkan satu bentuk karakter-karakter manusia yang baru dalam masyarakat, yaitu manusia performer; manusia yang memainkan dan mengontrol peran mereka sendiri. Dan salah satunya juga terjadi pada perempuan.


Di tahun 90-an budaya posmodern telah memperlihatkan kemunculan ikon perempuan baru: tangguh, seksi, dan acuh tak acuh, tidak melihat dirinya sendiri sebagai korban, dan menginginkan kuasa; singkatnya, mendekonstruksi budaya perempuan(women’s culture). Pergeseran dari feminisme ke posfeminisme pun terjadi. Representasi dari perempuan posfeminis ini bisa kita lihat dalam keseharian kita di Indonesia, ditandai dengan munculnya para perempuan pengarang, perempuan karir, artis, model, sutradara, dan lain sebagainya. Inilah gambaran perempuan yang aktif secara profesional dan yang ketika mereka harus setegas profesional laki-laki. Gambaran perempuan seperti itu saat sekarang lebih mudah kita temui daripada para perempuan feminis liberal, radikal, dan marxis.


Perempuan dan Konstruksi Posfeminisme


Posfeminisme merupakan suatu istilah yang saat ini ramai diperdebatkan. Ia bisa berarti reaksi buruk(backlash) media massa melawan perjuangan feminisme tradisional yang membela persamaan perempuan dan menghadapi realitas patriarki yang masih berakar dalam masyarakat serta sebagai bentuk perlawanan atas marginalisasi kaum perempuan. Sejalan dengan fenomena tersebut, salah satu premis kunci dalam konstruksi posfeminisme adalah tentang pilihan-pilihan hidup perempuan yang telah meninggalkan model pergerakan perempuan pada era 8o-an yang terkesan bahwa perempuan terlalu ambisius ihwal slogan ‘memiliki semuanya’.


Munculnya istilah posfeminisme menjadi nuansa baru pemikiran dan gerakan perempuan memasuki abad ke-21 yang terus-menerus merespon kenyataan sosial zamannya dalam keinginan untuk bergerak melampaui kesadaran dan pendirian yang dipegang oleh para feminis sebelumnya. Inilah era untuk keluar dari apatisme politik pada waktu para feminis terdahulu telah menukar cita-cita politik mereka demi mobilitas karier, dan memandang feminisme sebagai anakronisme. Sementara wacana publik menyatakan secara tidak langsung bahwa karena wanita telah mencapai kesetaraannya dengan laki-laki, mereka tak perlu lagi gerakan protes( Subandy: 2004).


Namun yang perlu dipahami di sini adalah kemunculan posfeminis ini tidak dalam arti ‘anti feminis’, ia hanya sebagai suatu evolusi gerak perlawanan dalam tubuh feminis sendiri yang menenatang hegemoni bahwa penindasan patriarki dan imperialis adalah pengalaman penindasan yang universal. Karena pada kenyataannya, perempuan sendiri tersebar dalam berbagai kelas sosial, pengelompokan rasial dan etnis, komunitas seksual, subkultur, dan agama yang artinya tiap perempuan akan mengalami dan merasakan pengalaman sosial dan kesadaran personal yang berbeda pula (Ann Brooks:2005). Hal inilah yang tetap memungkinkan bahwa suara-suara perempuan yang selama ini masih termajinalkan akan tetap mendapatkan tempat dalam wacana publik.


Eksploitasi Media Atas Perempuan


Di masa transisi menuju demokrasi seperti saat sekarang, dimana media massa baik cetak maupun elektronik sedang mengalami kebebasannya dalam hal penyiaran maupun pemberitaan. Eksplorasi yang dilakukan oleh media – kita sadari atau tidak – seringkali menyudutkan kaum perempuan. Karena kaum perempuan di ekspos bukan sebagai subyek melainkan sebagai obyek. Hal ini tampak dalam media cetak yang berbau pornografi, porno aksi dan seks. Juga dalam media elektronik bisa kita lihat bagaimana peran perempuan di sana yang memunculkan adanya persepsi masyarakat terhadap ‘perempuan yang ideal’.


Persaingan pun muncul di tengah maraknya industri televisi terutama televisi swasta yang jumlahnya terus bertambah. Masing-masing ingin menarik perhatian pemirsa sebanyak mungkin sehingga mereka berlomba-lomba memamerkan tayangannya.


Di sinilah kapitalisme berbicara. Uang adalah segalanya sehingga para produser televisi berusaha membidik pangsa pasar dengan mengerahkan segenap modal dan kemampuan. Karena mayoritas produser televisi adalah laki-laki sehingga mereka kemudian mengeksploitasi perempuan dalam tayangan yang membidik pasar laki-laki. Melalui tayangan-tayangan yang mengudara 24 jam, televisi selalu menyuguhkan perempuan yang tinggi, cantik, dan langsing.


Berdasarkan penelitian dan hasil pengamatan, dari lima menit iklan(comercial break) yang disiarkan hampir semuanya mencitrakan perempuan. Kita bisa lihat iklan sabun mandi dan pemutih serta pemandu kuis tengah malam yang menampilkan Dian Sastro, Bunga Citra Lestari, Tamara Blezinsky, dan Yeyen. Hampir semua acara televisi selalu menyajikan citra perempuan. Mau tidak mau sadar atau tidak perempuan saat ini menjadi barang hiburan. Semua yang disuguhkan dalam televisi selalu menampilkan perempuan yang ideal menurut perspektif masyarakat dan dengan demikian perempuan saat ini cenderung mencari dan mengejar label cantik yang dicitrakan oleh masyarakat. Akibatnya, seperti dalam pandangan posmo, orang akan kehilangan narasi diri, terciptanya budaya konsumtiv yang tinggi, sehingga seseorang tersebut sulit untuk memunculkan karakter original dalam diri dikarenakan terbunuhnya potensi, kreativitas dan imajinasi.


Perempuan akan rela mengorbankan uangnya untuk operasi plastik, menjalani program pemutihan kulit, pelangsingan tubuh, dan lain sebagainya. Mereka tidak sadar menjadi korban dari bayangan rasa ketakutan mereka sendiri, diperbudak oleh citra diri yang dipersepsikan salah oleh masyarakat.


Dalam berbagai publikasi iklan, media juga selalu mengidentifikasi perempuan sebagai seorang istri yang hanya melakukan pekerjaan rumah tangga atau domestikasi perempuan seperti iklan susu, dimana ibulah yang membuatkan susu anaknya. Padahal pada praksisnya seorang bapak pun mampu melakukan hal tersebut. Sebuah iklan mobil keluarga menggambarkan bahwa seorang wanita selalu berada pada posisi kedua karena laki-laki yang selalu ditampilkan menonjol seperti menjadi sopir. Hal ini jelas sangat diskriminatif terhadap posisi seorang perempuan. Pencitraan terhadap perempuan seperti ini yang mengakibatkan bias gender.


Memang peranan media dominan dalam membentuk watak dan pola pikir masyarakat. Hal yang tidak pernah kita pikirkan dari gambaran di atas yang syarat diskriminatif terhadap perempuan ditiru oleh masyarakat sehingga diskriminatif terhadap perempuan menjadi langgeng keberadaannya.


Fakta yang terjadi kemudian hampir setiap hari berita tentang pencabulan, pemerkosaan, dan berbagai bentuk kekerasan terhadap anak perempuan sangat sering kita dengar. Ironisnya berita tersebut menjadi komoditas yang sangat diminati oleh mayoritas media yang ada. Sebuah kenyataan yang sangat menyudutkan bagi keberadaan kaum hawa. Porsi berita tentang tindak kekerasan terhadap perempuan ini tanpa pernah kita sadari telah membentuk sebuah opini bahwa seorang perempuan memang layak mendapat perlakuan yang kasar sehingga pada akhirnya kekerasan terhadap seorang perempuan menjadi hal yang lazim.


Dampak langsung bagi perempuan adalah dia akan menjadi tersudut dan merasa kecil diri untuk berusaha menyejajarkan dirinya dengan kaum adam. Sebuah sikap pesimis kemudian muncul dari kaum perempuan bahwa sebaik apapun dia berusaha pada akhirnya juga akan menempati posisi setelah laki-laki.


Media massa sebagai salah satu alat dominan yang membentuk pola pikir dalam masyarakat seharusnya memberikan porsi yang setara dalam pencitraan perempuan dalam kehidupan sehari-hari. Realitasnya banyak hal yang tak mampu dilakukan seorang pria yang hanya dapat diperankan oleh seorang wanita. Sebuah fakta yang sudah selayaknya diangkat oleh media massa baik itu lewat berita, sinetron, ataupun segala acara lainnya. Dengan demikian peran posisi perempuan yang seharusnya sejajar dengan pria akan mampu diterima oleh masyarakat sebagai sebuah kenyataan yang tidak dapat kita pungkiri. Sehingga tindak diskriminasi terhadap perempuan dapat lenyap dari kehidupan.


Maskulinitas, Feminin, dan Budaya Patriarki


Jika kita melihat kondisi masyarakat Indonesia sekarang ini, budaya patriarki masih saja tertanam kuat. Kultur dalam masyarakat yang secara tegas membagi kewajiban antara laki-laki dan perempuan, membuat seorang perempuan pada akhirnya hanya berperan pada sektor domestik dalam keluarga. Sehingga ketika keadaan menuntut agar perempuan berperan dalam sektor publik mereka seolah tidak berdaya karena sejak awal perempuan memang tidak diberdayakan.


Juliet Mitchell (1994) mendeskripsikan patriarki dalam suatu term psikoanalisis yaitu " the law of the father " yang masuk dalam kebudayaan lewat bahasa atau proses simbolik lainnya. Menurut Heidi Hartmann (1992), salah seorang feminis sosialis, patriarki adalah relasi hirarkis antara laki-laki dan perempuan dimana laki-laki lebih dominan dan perempuan menempati posisi subordinat. Menurutnya, patriarki adalah suatu relasi hirarkis dan semacam forum solidaritas antar laki-laki yang mempunyai landasan material serta memungkinkan mereka untuk mengontrol perempuan. Sedangkan menurut Nancy Chodorow (1992), perbedaan fisik secara sistematis antara laki-laki dan perempuan mendukung laki-laki untuk menolak feminitas dan untuk secara emosional berjarak dari perempuan dan memisahkan laki-laki dan perempuan. Konsekuensi sosialnya adalah laki-laki mendominasi perempuan.


Superioritas laki-laki atas perempuan bisa dirunut mulai dari jaman penciptaan Adam dan Hawa, jaman filosofi Yunani Kuno sampai jaman modern. Laki-laki dan perempuan tidak hanya dianggap sebagai makhluk yang berbeda, tapi juga sebagai seks yang berlawanan. Sebuah pertemuan antara dunia laki-laki dan perempuan adalah "pertempuran seks" (the battle of the sexes). Laki-laki dan perempuan dipolarisasikan dalam kebudayaan sebagai "berlawanan" dan "tidak sama"(oposisi biner).


Dalam kehidupan, peranan seorang suami lebih utama daripada istri. Seorang perempuan dianggap tabu ketika harus bicara masalah yang lebih kompleks. Tugas seorang istri hanya berkutat pada urusan rumah tangga. Seorang anak menjadi nakal seolah-olah hanyalah kesalahan seorang ibu dan bapak lepas dari tanggung jawab. Budaya patriarki tersebut bahkan telah tertanam sejak kecil. Rumah adalah tempat dimana sosialisasi awal konstruksi patriarki itu terjadi. Para orang tua melakukan "gender" pertama-tama pada saat memberi nama kepada anak-anaknya. Anak laki-laki lazimnya diberi nama: Joko, Andi, Iwan, Budi, dan seterusnya. Sedangkan anak perempuan diberi nama: Sita, Wati, Ani, Yuli, Rina, dan lain sebagainya. Anak laki-laki belajar untuk menjadi "maskulin", dan anak perempuan belajar untuk menjadi "feminin" dari hadiah-hadiah yang diberikan oleh ayah-ibu dan teman-teman dekat pada saat ulang tahun. Mobil-mobilan dan robot untuk anak-anak laki-laki, dan boneka serta bunga untuk anak perempuan.


Hal ini berlanjut juga untuk persoalan perlakuan ayah-ibu terhadap anak-anaknya. Anak laki-laki diajari untuk bisa membetulkan genteng yang bocor atau perangkat listrik yang rusak, sementara anak perempuan belajar memasak dan menyulam. Para orang tua cemas dan gelisah jika anak-anak mereka tidak bertingkah laku sesuai dengan garis konstruksi sosial yang telah menetapkan bagaimana seharusnya anak laki-laki dan anak perempuan itu bertingkah laku. Hal serupa juga terjadi di institusi sekolah. Buku-buku pelajaran SD, tanpa disadari bersifat patriarkis. Buku pelajaran bahasa Indonesia misalnya, sering mengambil contoh-contoh kalimat seperti: Wati Memasak di Dapur, Budi Bermain Layang-layang, dsb. Kalimat-kalimat kategoris bernada manipulatif, yang mengkotak-kotakkan fungsi laki-laki dan perempuan sesuai nilai-nilai kepantasan tertentu yang berlaku di masyarakat: pekerjaan apa yang lazim dikerjakan anak laki-laki, dan apa yang lazim dikerjakan oleh anak perempuan.


Pada taraf minimal yang sangat lazim terjadi seorang bapak akan bangga ketika anaknya lahir laki-laki dan agak menyesal ketika anaknya perempuan. Sebuah fakta yang menggambarkan diskriminasi terhadap perempuan sudah dia alami sejak ia ditakdirkan lahir di muka bumi ini. Bisa kita lihat dengan jelas bahwa perempuan hanya mempunyai tiga peranan yang seringkali kita sebut 3 M: macak, manak, masak. Paradigma seperti inilah yang masih membelenggu dalam benak masyarakat Indonesia. Walau setinggi apapun perempuan itu bersekolah atau berpendidikan tinggi, tetap ia akan berperan 3M itu tadi.


Simone de Beauvoir (1981) dalam The Second Sex banyak mencontohkan wujud patriarki ini dalam bermacam-macam kebudayaan di dunia. De Beauvoir menyatakan dalam budaya Arab misalnya, seorang anak perempuan yang baru lahir sebisa mungkin akan disingkirkan karena semua bayi perempuan dianggap tidak menguntungkan dibandingkan jika mempunyai anak laki-laki. Masih menurut De Beauvoir, di negara-negara Asia dan di banyak kultur lain, ketika seorang anak perempuan masih berusia remaja, seorang ayah memegang kendali penuh atas hidupnya sampai ketika ia menikah dan kontrol itu akan beralih ke tangan suaminya. Di Tunisia, masih jadi pemandangan sehari-hari disana dimana para istri bekerja keras menyiapkan makanan di dapur atau sibuk mengurus anak-anaknya sementara para suami, si laki-laki asyik bergerombol dengan teman-temannya, sesama laki-laki di warung-warung di pasar, membicarakan dan mendiskusikan persoalan dunia.


Dengan kondisi yang seperti ini, mengakibatkan masih seringkalinya terjadi kekerasan terhadap perempuan di dalam keluarga, semisal kekerasan fisik yang mengakibatkan cidera, rasa sakit dan luka. Kemudian kekerasa psikis yang berakibat ketakutan, kekerasan seksual yang berupa pelecehan seksual, pemerkosaan serta kekerasan ekonomi yang berakibat terlantarnya anggota keluarga.


Melihat kondisi itu, sepatutnyalah kaum perempuan Indonesia harus bangkit dan sadar akan peran dan posisinya. Sikap apatis perempuan harus segera dikikis, karena perasaan iba, kasihan, dan prihatin bukanlah jawaban atas kondisi mayoritas perempuan Indonesia yang saat ini masih tertindas dan termarjinalkan. Dalam momen peringatan hari Ibu pada 22 Desember ini, selayaknya menjadi refleksi kita bersama untuk merenung, berpikir, dan bertindak, hal terkecil apa yang mampu kita lakukan dalam proses transformasi nilai agar para perempuan sadar akan peran dan posisinya. Jangan sampai peringatan ini hanya sebatas seremonial tahunan belaka. Dan memang, sesungguhnya tanggung jawab itu tidak hanya dibebankan kepada kaum perempuan saja. Tetapi, jika perempuan sendiri sudah tidak peduli, perubahan itu niscaya hanya sebatas mimpi. Selamat Hari Ibu...




REFERENSI:

Brooks, Ann. 2005. Posfeminisme & Cultural Studies. Jogyakarta. Jalasutra

Subandy Ibrahim, Idi. 2005. Posfeminisme, Pergulatan Melampaui Kesadaran Feminisme?

De Beauvoir, Simone. 2004. The Second Sex. Jogjakarta

Juliastuti, Nuraini. 2005. Kebudayaan yang Maskulin, Macho, Jantan, dan Gagah

Hari Pahlawan Bukan Sekedar Refleksi

Oleh: Ahmad Ikhwan Susilo



Barang siapa sungguh menghendaki kemerdekaan buat umum,

segenap waktu ia harus siap sedia dan ikhlas buat menderita

“kehilangan kemerdekaan diri sendiri”

(Dari Penjara ke Penjara, Tan Malaka)




Hampir saban 10 November kita selalu mengibarkan bendera satu tiang penuh. Upacara penghormatan pun dilakukan untuk memperingati hari Pahlawan. Seremonial tahunan ini menjadi satu refleksi bagi kita semua untuk mengenang jasa-jasa besar para pahlawan Indonesia yang dengan ikhlas mengorbankan segenap jiwa dan raga yang dimiliki sampai tetes darah penghabisan. Semua itu demi satu tujuan: Kemerdekaan! Merdeka dari penghisapan, merdeka dari penjajahan, dan merdeka dari penindasan kolonial. Soekarno pernah berkata bahwa bangsa yang besar adalah bangsa yang tidak pernah lupa akan jasa para pahlawannya. Maka dari itu, jangan pernah sekalipun melupakan sejarah.


Sebagaimana laiknya sebuah refleksi, peringatan hari pahlawan ini tak cukup sekedar kita memasang bendera satu tiang penuh dan mengikuti upacara kebesaran yang dipersiapkan, dihadiri para pejabat, didengarkan pidatonya, lantas selesai begitu saja tanpa ada satu nilai. Dan hal ini dari tahun ke tahun terasa semakin kurang dihayati dan menjadi kosong makna karena peringatan ini cenderung bersifat seremonial belaka.


Lebih dari itu, refleksi ini menjadi satu permenungan kita bersama, sejauh mana kita sebagai angkatan muda(baca: mahasiswa), kaum intelektual terpelajar mampu menjadi bagian dalam proses pembangunan bangsa ini ke depan? Hal signifikan apa saja yang telah kita perbuat di dalam arus persaingan yang go global ini? karena seperti apa yang dikatakan oleh Soe Hok Gie bahwa kitalah generasi yang akan memakmurkan Indonesia.


Memang secara legal formal bangsa ini telah merdeka, tetapi bila kita lihat secara hakikat ternyata belum sepenuhnya kita merdeka. Penjajahan yang kita alami sekarang tidak sama dengan apa yang dialami oleh arek-arek Suroboyo ketika melawan Inggris di Surabaya 63 tahun silam dengan menggunakan beberapa pucuk senjata dan bambu runcing. Bentuk penjajahan yang kita alami saat ini tidak bermuka garang melainkan berwajah lembut. Kita dijajah secara sistem!...selengkapnya