Powered By

Free XML Skins for Blogger

Powered by Blogger

blog-indonesia.com

26 September 2008

Guru Bahasa dan Sastra Indonesia Dituntut Lebih Kreatif

JAKARTA--MEDIA: Guru dituntut lebih kreatif dalam memberikan pelajaran bahasa dan sastra Indonesia kepada siswa agar budaya membaca dapat tumbuh sejak dini melalui pelajaran bahasa dan sastra Indonesia.

Kreatifitas itu dapat diwujudkan dengan menjadi fasilitator yang baik bagi siswa dengan cara menyiapkan bahan ajar praktis dan mudah dicerna oleh siswa, selain dari buku acuan pembelajaran di sekolah.

Hal itu diungkapkan staf pengajar program studi bahasa dan sastra Indonesia Universitas Sanata Dharma Widharyanto dalam seminar ‘Membangun Budaya Membaca Melalui Bahasa Indonesia’, di Gedung Pusat Pendidikan Latihan (Pusdiklat) Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral, Jakarta, Sabtu (24/11).

Widharyanto menilai, kreativitas guru dalam menyampaikan pelajaran bahasa dan sastra Indonesia dinilai penting karena selama ini guru, khususnya guru bahasa dan sastra Indonesia, lebih terpaku dengan bahan pembelajaran yang telah ada di sekolah.

"Alasannya macam-macam, ada yang mengatakan, terkendala oleh waktu yang sempit, banyaknya tugas tambahan dari sekolah, dan juga alasan jam belajar yang banyak, sehingga sulit mendapatkan bahan pembelajaran selain dari materi pembelajaran di sekolah," ungkap Widharyanto.

Akibatnya, kata Widharyanto, siswa juga hanya terpaku dari bahan pembelajaran yang telah ada di sekolah, dan hal itu berdampak buruk ketika tidak ada sesuatu yang menjadi pemicu untuk menumbuhkan budaya membaca sejak dini kepada siswa.

"Semestinya, para guru harus menjadi fasilitator yang kreatif, dengan menyiapkan bahan pembelajaran yang praktis dari luar materi pembelajaran, seperti bahan-bahan dari media massa, baik itu media cetak maupun elektronik," ujar Widharyanto.

Kendati demikian, lanjut Widharyanto, kreativitas itu juga perlu dibarengi oleh sikap yang selektif dan edukatif dalam memilah-milah bahan ajar dari luar materi pembelajaran di sekolah, serta disampaikan dalam metode sederhana di kelas.

"Misalnya, dapat mengambil contoh dari bahan media cetak, yakni jenis-jenis tulisan deskripsi, narasi, argumentasi, eksposisi, dan persuasi, lalu juga dapat mengambil contoh jenis karya sastra dari puisi, atau juga program televisi yang menyenangkan, seperti yang berkaitan dengan flora dan fauna," tuturnya.

Dengan kata lain, kata Widharyanto, tidak hanya guru yang memberikan perintah kepada siswa untuk mencari contoh di media massa. "Namun, guru juga harus menjadi contoh, agar siswa mampu memahami apa yang dimaksud," ujar Widharyanto.

Sementara itu, psikolog pendidikan Seto Mulyadi sependapat jika guru dituntut untuk lebih kreatif dalam penyampaian materi pelajaran bahasa dan sastra Indonesia, agar dengan sendirinya menumbuhkan budaya membaca bagi siswa sejak dini.

"Jika budaya membaca sejak dini itu tumbuh, maka tidak hanya informasi yang diperoleh, tetapi juga akan memiliki keterampilan berkomunikasi, dan memiliki kepercayaan diri ketika berbicara di hadapan orang lain," ujar Seto. (Dik/OL-06)

Dikutip dari Media Indonesia Sabtu, 24 November 2007

25 September 2008

Kontroversi Pendidikan Profesi Guru

Oleh : Waras Kamdi

Dikutip dari Kompas Rabu, 24 September 2008


The power to change education—for better or worse—is and always has been in the hands of teachers (Judith Lloyd Yero, 2003).


Begitu strategisnya posisi guru dalam pendidikan, maka tidak salah jika pemerintah memprioritaskan peningkatan mutu pendidik melalui Pendidikan Profesi Guru sebagai kunci peningkatan mutu pendidikan nasional.

Melalui partisipasi guru, sadar atau tidak, guru secara individual memiliki kekuatan untuk membuat usaha pembaruan pendidikan yang berhasil atau sebaliknya, merusaknya.

Melalui situsnya, beberapa pekan terakhir, Direktorat Ketenagaan Ditjen Pendidikan Tinggi memublikasikan Rancangan Permendiknas Pendidikan Profesi Guru disertai Pedoman Pendidikan Profesi Guru Pra-jabatan, dan Naskah Akademiknya.

Sebenarnya, sejak diedarkan terbatas Juni 2007, Rancangan Pendidikan Profesi Guru itu telah menuai kontroversi. Perbedaan pandangan mencuat tajam antara tim ad hoc dengan sejumlah tokoh dan pemerhati pendidikan guru dalam pertemuan yang digelar Ditjen Dikti di Hotel Jayakarta Jakarta, 30 Maret 2008. Namun, hingga draf rancangan yang dipublikasikan itu, nyaris tak ada perubahan berarti.

Inti masalah terletak pada kecermatan akademik dalam Rancangan Pendidikan Profesi Guru yang secara konseptual tidak memadai, bahkan dikesankan banyak pihak, telaah akademiknya dikerjakan serampangan dengan pendekatan berpikir kira-kira.

Pedoman pendidikan dan Rancangan Permendiknas-nya pun mengidap cacat bawaan dari naskah akademik. Jika rancangan ini terus menggelinding menjadi ketetapan Permendiknas, dikhawatirkan akan melengkapi pengalaman pahit Presiden Yudhoyono setelah ”Super Toys” dan ”Banyu Geni”.

Selain itu, grand design Pendidikan Profesional Guru dalam rangka Sertifikasi Guru menjadi makin tidak jelas juntrungnya.

Kekacauan konsep

Ada frase yang dikacaukan satu sama lain kemudian mengundang kontroversi, yaitu ”Pendidikan Profesional Guru”, ”Pendidikan Guru Konsekutif”, ”Pendidikan Guru Terintegrasi (Concurrent)”, ”Pendidikan Akademik Guru”, dan ”Pendidikan Profesi Guru”.

Dalam praktik pendidikan guru di Tanah Air dikenal Pendidikan Guru Konsekutif (untuk PGSM) dan Pendidikan Guru Terintegrasi (khusus untuk PGSD). Pendidikan Guru Konsekutif dimulai dengan penguasaan disiplin ilmu tertentu sesuai mata pelajaran di sekolah menengah, lalu ditambah (plug-in) penguasaan kemampuan ilmu kependidikan.

Jenis pelaksanaannya, Pendidikan Guru Konsekutif dilakukan dalam jalur kependidikan maupun jalur nonkependidikan yang kemudian menambah paket kependidikan. Sedangkan Pendidikan Guru Terintegrasi sejak awal pendidikan, penguasaan disiplin ilmu yang diajarkan di SD dan penguasaan pedagogisnya dilakukan secara terintegrasi. Pada program S-1, keduanya berujung diperolehnya ijazah (akademik) sarjana pendidikan (SPd) sehingga disebut ”Pendidikan Akademik Guru”.

Keberadaan Pendidikan Profesi Guru menjadi tuntutan setelah UU No 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen mensyaratkan guru profesional harus memiliki sertifikat pendidik. Lazimnya seperti dilakukan pada bidang kedokteran, akuntan, atau lawyer, Pendidikan Profesi Guru dilakukan secara internship setelah melalui pendidikan akademik. Pendidikan profesi berisi kegiatan praktik ”mencemplungkan diri” menerapkan kemampuan akademik dalam kegiatan profesi guru di sekolah disertai mekanisme penyeliaan yang sistematis dan dalam waktu memadai.

Maka, Pendidikan Profesi Guru harus mensyaratkan peserta penyandang SPd, baik yang berasal dari jalur Pendidikan Konsekutif maupun Pendidikan Guru Terintegrasi.

Pendidikan akademik dilakukan dalam basis kampus, berujung diperolehnya ijazah sarjana. Sedangkan pendidikan profesi dilakukan secara internship di sekolah, berujung didapatnya sertifikat. Semua proses pendidikan guru, mulai dari pendidikan akademik hingga diteruskan ke pendidikan profesi guru disebut ”Pendidikan Profesional Guru”.

Kekacauan konsep dalam Rancangan Permendiknas bermula dari Naskah Akademik dan Pedoman Pendidikan Profesi Guru versi Ditjen Dikti karena tidak mampu membedakan ”Pendidikan Guru Konsekutif” yang akademik dengan ”Pendidikan Profesi Guru” yang internship.

Pasal 10 Struktur Kurikulum yang terdiri mata kuliah akademik dan pendidikan bidang studi ditambah Praktik Pengalaman Lapangan, dan Pasal 11 tentang Beban Belajar dengan rentang 18-40 >small 2small 0<, jelas menunjukkan, yang dimaksud ”Pendidikan Profesi Guru” dalam Rancangan Permendiknas ini tidak lain adalah ”Pendidikan Guru Konsekutif” yang bercirikan pendidikan akademik, nyaris tak beda atau reinkarnasi program Akta bagi S-1 nonkependidikan yang dikenal selama ini.

Ini berarti bagi peserta S-1 dan D-IV (jika ada) kependidikan akan mengulang ”cerita” pendidikan akademiknya dan bagi peserta S-1 dan D-IV nonkependidikan selayaknya menempuh ”Pendidikan Guru Konsekutif” guna mendapatkan ”Pendidikan Akademik Guru”. Singkat kata, ”Pendidikan Profesi Guru” yang bercirikan kegiatan internship yang dimaksud sebenarnya belum berhasil dirumuskan.

Reformasi LPTK

Pasal 3 Rancangan Permendiknas menyebutkan, program Pendidikan Profesi Guru diselenggarakan LPTK yang terakreditasi dan ditetapkan pemerintah. Pengalaman praktis LPTK sebatas menyelenggarakan pendidikan guru konsekutif dan konkuren melalui aneka jenis paket kependidikan, dan menghasilkan sarjana pendidikan (akademis) yang ditandai perolehan ijazah dan gelar SPd.

Pendidikan Profesi Guru melalui internship di sekolah minimal satu tahun itu pasti bukan format praktik pengalaman lapangan (PPL) yang selama ini dikenal di LPTK, yang masih dalam ranah pendidikan akademik guru. Dengan kerangka pikir baru, Pendidikan Profesional Guru dilakukan berjenjang dari pendidikan sarjana akademik di LPTK lalu pendidikan profesi setelah sarjana, maka reformasi kurikulum LPTK secara menyeluruh dan pengembangan Pendidikan Profesi Guru menjadi keniscayaan dalam pengembangan Pendidikan Profesional Guru.

Sejalan dengan itu, LPTK perlu mengembangkan program operasional internship Pendidikan Profesi Guru yang belum pernah ada, dengan penyeliaan yang sistematis berbasis sekolah laboratorium atau sekolah mitra.

Memerhatikan dampak yang luas dalam sistem pendidikan di Tanah Air, formulasi pendidikan profesional guru tak boleh dilakukan grusa-grusu, ”kejar tayang”, hanya untuk memenuhi target proyek. Dalam hal ini, kita perlu lebih arif karena kini saatnya menata Pendidikan Profesional Guru secara cermat dan sungguh-sungguh untuk menuai generasi guru baru yang ”perkasa” mengubah mutu pendidikan, mengubah menjadi lebih baik, dan bukan merusaknya.

Waras Kamdi Ketua Lembaga Pengembangan Pendidikan dan Pembelajaran Universitas Negeri Malang; Anggota Kelompok Peduli Pendidikan Guru

Konsep Dulu, Baru Uang

Oleh : Daoed JOESOEF

Dikutip dari Kompas Rabu, 3 September 2008



Salah satu ucapan Presiden yang disambut hangat di dalam dan di luar DPR adalah keputusan mewujudkan anggaran 20 persen APBN untuk pendidikan.

Sambutan ini berdasarkan asumsi, kekurangan dana menjadi faktor utama impotensi pendidikan nasional selama ini.

Benarkah? Sepertinya tidak. Asumsi itu keliru. Kalaupun tambahan anggaran itu diwujudkan secara efisien, efektif, dan mencapai sasaran, hal itu justru mengukuhkan penyakit yang membuat pendidikan tak berdaya melaksanakan misinya. Sistem pendidikan kita mandek, bahkan amburadul, bukan (hanya) karena kekurangan dana, tetapi lebih dari itu, terkait ketiadaan konsep idiil yang mendasari.

Tidak ada sistem apa pun yang tepat sebagaimana adanya (in itself). Ia tepat, maka itu dinilai baik, ditinjau dari konteks tujuan perumusannya, untuk apa ia diadakan. Dengan predikat ”nasional”, fungsi pendidikan jelas berdimensi nasional (kepentingan negara-bangsa) selain individual (hak warga negara perseorangan). Berarti, kejelasan citra dari komunitas nasional yang diidam-idamkan harus ada lebih dulu. Dan, citra ini merupakan keputusan nasional yang disepakati oleh semua negarawan, politikus, dan cendekiawan bangsa.

Namun, justru citra ideal itu yang tidak ada, belum pernah ada. Padahal, bahan-bahan untuk perumusan tersebar dalam ucapan, tulisan para pendiri negara-bangsa—adakalanya begitu eksplisit, dan kandungan-kandungan pasal/ayat UUD.

Jadi, jangan disalahkan jika para profesional di Depdiknas bekerja seadanya, pragmatis/reaktif, mengesankan amburadul, ganti menteri ganti kurikulum. Keamburadulan kian parah karena tidak ada konsep nasional yang integralistik, disuntikkan aneka otonomi ke dalam proses pendidikan, mulai otonomi daerah yang berlapis—provinsi, kabupaten, kota—hingga otonomi sekolah yang atomistis.

Kini departemen diberi dana kerja amat besar, padahal tidak ada program aksi relevan yang disiapkan sebelumnya.

Mengingat negara-bangsa tidak ”memberi” kriteria tentang apa yang harus dilakukan oleh pendidikan nasional, sebagai lembaga formal tertinggi dalam memasok suatu kualitas pendidikan, wajar Depdiknas menyiapkan konsep pendidikan demi pendidikan itu sendiri. La noblesse oblige! Jangan membiarkan pemerintah terus memperlakukan pendidikan hanya sebagai urusan marjinal dalam seluruh urusan politik yang ditangani.

Tiga keharusan

Paling sedikit ada tiga keharusan yang membenarkan departemen bertindak demikian, yaitu yang bersifat konstitusional, moral, sosial dan ekonomis.

Dalam Pembukaan UUD 1945 tertera, dengan menyatakan kemerdekaannya, rakyat Indonesia bertekad, antara lain, ”mencerdaskan kehidupan bangsa”. Para pendiri Republik menyadari betapa kehidupan bangsa perlu dicerdaskan mengingat unsur-unsur konstitutifnya tidak homogen. Maka, kecerdasan merupakan satu keharusan demi pemahaman genuine sebagai dasar kesatuan dan persatuan di tengah kemajemukan alami. Persatuan dalam arti menerima adanya aneka perbedaan dengan ikhlas, penuh toleransi (integrasi). Kesatuan dalam arti menyatukan dan menegakkan kesamaan (unifikasi).

Mencerdaskan kehidupan bangsa dilakukan melalui pendidikan sebab kecerdasan tidak genetically fixed, tetapi dapat diajarkan. Berhubung anak didik adalah warga bangsa, melalui kecerdasannya karakter bangsa dibantu membaik menjadi terpuji. Jadi, mendidik anak bangsa tidak hanya merupakan keharusan konstitusional, tetapi juga moral.

Pendidikan untuk semua anak perlu dipertegas dengan keharusan sosial, yaitu memberi pendidikan yang sama kepada anak perempuan dan laki-laki. Kesamaan ini merupakan keharusan mengingat jenis kolektivitas yang dikehendaki adalah kehidupan berbangsa di mana ada keadilan jender dan political independence bagi perempuan, yang berarti punya hak suara, hak memilih dan dipilih untuk memegang jabatan politis dan jabatan teknis apa saja yang dia mampui secara fisik dan mental.

Ketiga keharusan itu perlu digenapi keharusan ekonomis, yaitu pendidikan untuk semua harus diartikan sebagai pendidikan yang menjangkau anak miskin dan cacat, tidak terbatas anak kaya dan sempurna. Kehidupan bangsa baru dapat dikatakan cerdas bila tiap warganya yang berlatar belakang apa pun dapat naik dari tempat kelahiran terendah ke tingkat pencapaian tertinggi berkat pendidikan. Lagi pula bangsa yang berhasil pada masa depan adalah yang tidak hanya membukakan pintu bagi sebagian talenta dari sebagian anak-anaknya, tetapi mengembangkan semua talenta dari semua anaknya.

Dalam menyusun konsep pendidikan, Depdiknas seharusnya berprinsip bahwa misinya berurusan dengan nilai, tidak hanya transmisi pengetahuan dan keterampilan antargenerasi, tetapi membudayakan manusia karena sistem nilai yang dihayati adalah budaya. Pembudayaan nilai-nilai asing oleh sistem pendidikan biasa terjadi di banyak bangsa. Melalui penghayatannya, dengan sadar melakukan aneka perubahan guna mewujudkan jenis masyarakat nasional yang mereka idealkan.

Oleh karena itu, secara esensial pendidikan adalah proses yang membiasakan manusia sedini mungkin mempelajari, memahami, menguasai, dan menerapkan nilai-nilai yang disepakati bersama sebagai berguna bagi individu, keluarga, masyarakat, bangsa, dan negaranya. Bagi kita, juga ada nilai-nilai asing yang harus bisa dihayati sebagai budaya alami melalui pendidikan demi kemajuan individual dan kolektif. Salah satu yang amat penting dan menentukan adalah ”semangat ilmiah”, yaitu ilmu pengetahuan dalam arti proses, yang mengembangkan ”pengetahuan” menjadi ”pengetahuan ilmiah” dan tentu saja disiplin yang sudah jadi (ilmu pengetahuan dalam arti produk).

Semangat ilmiah diperlukan untuk semakin menyempurnakan pembawaan human kita. Ia membantu menciptakan pengetahuan ekstra genetik agar terbebas dari ketergantungan pada pengetahuan genetik semata. Ia juga berguna dalam pembentukan pengetahuan ekstra somatik, yaitu informasi yang disimpan di luar tubuh, di tempat khusus—perpustakaan, laboratorium, museum, dan lain-lain.

Integritas departemen

Semangat ilmiah dan ilmu pengetahuan yang dihasilkan juga dapat menyempurnakan hidup kemakhlukan kita. Kita hidup di antara dua infinitas alami yang keberadaannya amat menentukan kondisi kehidupan makhluk di bumi, baik dalam arti positif maupun negatif. Di satu pihak ada yang besar tak terhingga, yaitu galaksi di angkasa luar, nebula bercahaya warna-warni dari Bimasakti, planet-planet dari sistem solar. Di lain pihak, ada yang kecil tak terhingga, seperti sel hidup, jaringan neuron, DNA, subatomic particles. Akses ke potensi natural yang dikandung kedua infinitas itu terbukti dimungkinkan oleh ilmu pengetahuan.

Jadi, sistem pendidikan yang kita kembangkan demi mencerdaskan bangsa adalah bagian dari kebudayaan. Maka, sungguh aneh jika urusan kebudayaan tidak dikembalikan ke jajaran departemen yang mengurus pendidikan. Lebih aneh lagi jika Depdiknas membiarkannya tetap begitu. Mana integritas intelektual departemen ini? Cakupan kebudayaan jauh lebih luas dari sekadar kesenian selaku pemancing dollar turis asing! Nilai-nilai perlu diolah oleh kecerdasan melalui penemuan dan kombinasi baru demi pembentukan peradaban baru yang sejalan tuntutan abad XXI dan selanjutnya.

Bila konsep pendidikan nasional yang menyeluruh dan terpadu telah selesai, berikan kepada politik agar diterima. Politik harus memutuskan konsep yang ia sendiri tidak mampu merumuskannya. Dengan cara begini alih-alih politik mengorupsi pendidikan, the intellectual integrity of education needs to contribute to the decorruption of politics. Bagaimanapun ada politik dalam pendidikan, sebagaimana ada pendidikan dalam politik.

Daoed JOESOEF Alumnus Université Pluridisciplinaires Panthéon-Sorbonne

Anggaran Peningkatan Mutu Pendidikan

Oleh : Baskoro Poedjinoegroho
Dikutip dari Kompas Rabu, 3 September 2008

Dalam pidato di depan anggota DPR, Presiden menetapkan anggaran pendidikan nasional sebesar 20 persen dari total APBN 2009.

Bila dirupiahkan, total anggaran untuk pendidikan pada APBN 2009 sebesar Rp 244,44 triliun, kenaikan yang amat mencolok dibanding anggaran 2008 sebesar Rp 154, 2 triliun. Insan pendidikan agaknya puas, karena putusan itu sejalan dengan amanat UU No 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas. Perbaikan mutu pendidikan menjadi prioritas. Masalahnya, mungkinkah dengan dana sebesar itu kemajuan pendidikan bisa terwujud?

Memperbaiki mutu

Kebijakan penaikan anggaran pendidikan, tentu bukan tanpa alasan. Banyak alasan dapat dikemukakan, antara lain keinginan dan tuntutan dalam berbagai bentuk dari insan pendidikan entah penyelenggara, pelaku, ataupun pemerhati. Pantas disyukuri bahwa pemerintah menyambut keinginan insan pendidikan. Rasa syukur layak dikemukakan jika terjadi perjumpaan antara keinginan yang baik untuk memajukan pendidikan dan kemauan baik untuk mendukungnya. Maksudnya, keinginan dan kemauan baik yang tidak melulu demi besarnya jumlah dana atau uang, atau muatan politis lainnya. Bukankah uang senantiasa menggiurkan, apa.lagi sebesar anggaran pendidikan nasional 2009?

Memang, orang boleh berpendapat, anggaran itu masih lebih kecil dibanding anggaran negara tetangga, misalnya dengan basis produk domestik bruto (PDB) angka Indonesia adalah 1,9 persen, sementara Thailand 5,0 persen, Malaysia 5,2 persen, dan Vietnam 2,8 persen.

Bagaimanapun Rp 244,44 triliun adalah jumlah amat besar. Jumlah itu akan kian bermakna karena merupakan kebijakan politik atau jawaban tepat dan kini dibutuhkan. Apalagi, bangsa ini sedang mengalami kemunduran di segala bidang, terutama karena kemerosotan moral, yang harus diyakini akan dapat diimbangi dengan pendidikan bermutu.

Dalam pidato Presiden (15/8/2008) itu, anggaran 20 persen ditujukan untuk perbaikan sarana-prasarana (gedung sekolah) dan SDM (guru, dosen, beasiswa). Dengan demikian, diharapkan akan terjadi kemajuan mutu pendidikan. Dari sisi lain, ada yang menantang pelaku atau pengguna anggaran, yakni pembuktian sekaligus perwujudan pengembangan diri bahwa mereka adalah insan-insan yang melakukan kemajuan pendidikan melalui pemanfaatan dana sesuai maksud/tujuan pengadaan (intentio dantis). Meski juga harus disadari, tidak selalu mudah menanggapi atau melaksanakan apa yang sudah diketahui; acap kali apa yang diketahui tidak selalu dilaksanakan terlebih bila menyangkut soal dana atau uang.

Keadaan ini mengingatkan akan apa yang baru saja digumuli para pendidik, yaitu sertifikasi pendidik. Entah sudah mengerti ihwal makna sertifikasi atau belum, yang pasti, mereka yang lolos sertifikasi akan mendapat tambahan pendapatan. Inilah yang hidup di benak pengajar sertifikasi. Sertifikasi diperjuangkan mati-matian jika perlu dengan bertindak curang, tidak peduli bertentangan dengan prinsip pendidikan. Misalnya, memalsukan dokumen/portofolio demi lengkapnya persyaratan.

Di antara pengejar sertifikasi belum pernah terdengar, sertifikasi diburu sebagai bukti bahwa seorang pendidik telah dan selalu mengejar kompetensi atau profesionalitas dalam mendidik. Yang lazim adalah sertifikasi diperjuangkan demi bertambahnya pendapatan atau uang. Bila demikian, mutu pendidikan akan biasa-biasa saja meski pendapatannya bertambah.

Bukan milik pribadi

Banyak orang amat rentan dengan uang, tak bijaksana dalam mengelola uang. Apa saja yang terkait uang senantiasa membuat mabuk, kehilangan kesadaran diri, kehilangan akal sehat, kehilangan ketajaman nurani. Banyak bukti mudah ditemukan saat ini. Setiap hari media tak pernah absen memberitakan kejahatan yang terkait uang.

Karena itu, penetapan anggaran pendidikan 20 persen harus dijadikan momentum bagi para insan pendidikan untuk membuktikan diri, mereka adalah pribadi-pribadi yang berharkat luhur yang amat bernilai lebih daripada nilai nominal uang. Caranya, dengan memperlakukan anggaran atau dana pendidikan sebagai bukan milik pribadi. Inilah sikap dasar yang harus dimiliki oleh siapa pun sebelum melibatkan diri dalam penggunaan anggaran atas nama perbaikan mutu. Bila tidak, perbaikan mutu pendidikan tak akan terjadi, bahkan akan semakin merosot.

Baskoro Poedjinoegroho Direktur SMA Kanisius Jakarta

"Nasionalnya" Pendidikan Kita

Oleh : Agus Suwignyo
Dikutip dari  Kompas Rabu, 24 September 2008


Tulisan mantan Mendikbud Daoed Joesoef tentang pentingnya perumusan kembali ”konsep idiil yang mendasari” sistem pendidikan kita (Kompas, 3/9/2008), disambut takzim fisikawan-etikawan Liek Wilardjo dengan menyebutnya ”wejangan Resi Seta yang turun dari pertapaan Pareanom” (Kompas, 11/9/2008).

Pak Daoed menegaskan, ”Dengan predikat nasional, fungsi pendidikan jelas berdimensi nasional (kepentingan negara-bangsa) selain individual (hak warga negara perseorangan).” Pak Liek menyahut, ”Sudah saatnya kita mempunyai konsep pendidikan nasional yang jelas”.

”Percakapan” dua begawan itu layak dikembangkan karena menyegarkan pemikiran ke arah pembaruan konstruksi nasional pendidikan Indonesia.

Setidaknya selama sepuluh tahun terakhir, kita terjebak hiruk-pikuk—meminjam istilah pedagog senior Mochtar Buchori—aneka persoalan ”hilir” dan mengabaikan aneka pemikiran dasar yang memberi arah kebijakan dan praktik pendidikan nasional.

Ambil contoh, perkara ujian nasional, buku pelajaran, dan sertifikasi guru dikaji dalam bingkai kritik ketidaksigapan pemerintah merespons permasalahan terkini. Namun, kajian sering terisolasi dari konteks makro arah pendidikan. Sejauh mana silang pendapat tentang perkara itu mencerminkan relevansi dan makna ”kenasionalan” sistem pendidikan kita masih relatif kabur.

Akibatnya, upaya menyelesaikan persoalan-lapangan praktik pendidikan tidak menyentuh akar masalah. Perkara UN, misalnya, justru kian rumit (dan ruwet) akibat terlepasnya substansi kontroversi dari tolok ukur ”kenasionalan” sistem pendidikan. Di sisi lain, proses pendidikan (kian) dikeluhkan menciptakan beban sosial—alih-alih kekuatan transformatif masyarakat.

Trisila imperatif

Hal amat krusial yang seharusnya dijiwai—tetapi nyata-nyata telah diabaikan—dalam perumusan kebijakan dan praktik pendidikan kita adalah prinsip-prinsip yang mendasari dan memberi karakter ”nasional”-nya sistem pendidikan. Secara historis, prinsip-prinsip itu mencakup pemerataan, integrasi, dan kemandirian.

Sejak SD kita tahu, gagasan pemerataan sebagai prinsip pendidikan Indonesia merupakan reaksi langsung terhadap sistem pendidikan kolonial yang segregatif dan diskriminatif.

Tokoh-tokoh, seperti Dwidjo Sewojo, RA Kartini, KH Dewantara, KH Ahmad Dahlan, Moh Sjafei, Moh Yamin, dan Moh Hatta, berjuang demi sistem pendidikan nasional yang merengkuh warga negara tanpa pembedaan kelas. Proklamasi Kemerdekaan melahirkan kesamaan hak warga atas pendidikan melalui jaminan konstitusi.

Meskipun demikian, dalam konteks kemerdekaan, pemerataan pendidikan bukan semata-mata perkara hak warga yang pemenuhannya menjadi kewajiban negara.

Khusus untuk konteks Indonesia, pemerataan bersifat imperatif demi terbentuknya sikap individu-individu sebagai kesatuan warga dalam wadah negara.

Dengan makna itu, pemerataan pendidikan merupakan medium terwujudnya integrasi keindonesiaan.

Artinya, ketika prinsip pemerataan pendidikan diabaikan, yang terjadi bukan hanya pelanggaran hak warga, tetapi juga ancaman terhadap integrasi kebangsaan kita.

Karena itu, evaluasi atas berbagai kebijakan strategis, seperti UN, tidak cukup ditempatkan dalam bingkai isu-isu implementasi kebijakan, misalnya menyangkut keadilan sosial dan tanggung jawab pemerintah. Evaluasi harus menyentuh peran dan kepentingan negara dalam berbagai kebijakan strategis pendidikan.

Kemandirian

Selain pemerataan dan integrasi, fondasi filsafati penting dari ”nasionalnya” sistem pendidikan kita adalah kemandirian. Penekanan pada kemandirian amat jelas dalam pemikiran tokoh-tokoh pendidikan yang telah disebut.

Demi prinsip kemandirian, misalnya, KH Dewantara menolak bantuan keuangan pemerintah bagi Perguruan Taman Siswa. Begitu pun KH Ahmad Dahlan dan Moh Sjafei bersikap selektif terhadap tawaran bantuan kolonial.

Dalam konteks berbeda pada periode kontemporer, YB Mangunwijaya pernah mengharuskan anak-anak jalanan membayar (meski hanya Rp 25) jika meminjam buku perpustakaan Kali Code karena konsep gratisan dianggapnya menghambat kemandirian dan sense of belonging anak-anak itu.

Contoh-contoh itu menegaskan, kemandirian merupakan elemen krusial harga diri (dignity). Implikasi politisnya, selain mengemban misi memerdekakan cara berpikir dan jiwa anak-anak bangsa (misi mikro), penyelenggaraan pendidikan sebagai tanggung jawab pemerintah juga harus memancing seluas mungkin partisipasi masyarakat (misi makro).

Secara khusus dalam konteks anggaran, skema alokasi dana pendidikan pada APBN 2009 harus jitu dan akomodatif agar merangsang investasi lebih besar pemerintah daerah dan pihak-pihak swasta dalam penyelenggaraan pendidikan.

Hanya dengan kesadaran bahwa pendidikan sebagai hak warga bukanlah sesuatu yang terberi dan taken for granted, tetapi harus diusahakan bersama, kita terbebas dari kekangan paradigma filantropi yang diusung para penggagas Politik Etis 100 tahun lalu.

Agus Suwignyo Pedagog FIB UGM; Sedang Meneliti Sejarah Pendidikan Guru


Lonceng Kematian Sekolah Swasta

Oleh : S BELEN

dikutip dari Kompas Rabu, 24 September 2008


Tahun 2009, anggaran pendidikan mendapat tambahan Rp 46,15 triliun hingga menjadi Rp 224 triliun (20 persen APBN). Penghasilan guru dan dosen PNS terendah minimal Rp 2 juta, belum termasuk kenaikan kesejahteraan sekitar 14-15 persen gaji pokok.

Kabar menggembirakan bagi guru dan dosen PNS itu ternyata tak dinikmati guru sekolah swasta. Bagi mereka, ketentuan itu hanya menjadi pelipur lara. Guru nonsarjana hanya mendapat subsidi tunjangan Rp 50.000 dan guru S-1 Rp 100.000 per bulan (Kompas, 10-12/9/2008).

Tambahan ini akan digunakan untuk menaikkan dana bantuan operasional sekolah (BOS), menambah guru madrasah, rehabilitasi sekolah, peningkatan sarana sekolah, peningkatan kualitas pendidikan nonformal, dan penelitian pendidikan.

Lonceng kematian

Pada era reformasi, gaji PNS—termasuk guru PNS—berkali-kali dinaikkan pemerintah. Hal ini memaksa yayasan swasta menyetarakan gaji guru dengan guru PNS. Akibatnya, alokasi dana untuk gaji guru di sekolah swasta favorit di perkotaan yang dulu sekitar 60 persen dari total anggaran kini 70 persen hingga 85 persen. Jika ditambah insentif pemerintah daerah, terutama di Jakarta dan Kalimantan Timur, jurang penghasilan guru PNS dan swasta kian lebar.

Bantuan dana BOS bagi swasta tak memecahkan masalah karena terbanyak untuk gaji guru. Nasib guru sekolah swasta menyedihkan. Sebuah SMA swasta di Jakarta hanya mampu menggaji Rp 1 juta bagi guru yang sudah mengabdi 12 tahun. Di Yogyakarta ada guru yang masih digaji Rp 300.000. Banyak sekolah seperti ini. Kesejahteraan guru PNS akan kian cerah pada masa depan. Dapat diramalkan, sekolah swasta akan gulung tikar. Ini merupakan lonceng kematian sekolah swasta.

Dampak

Banyak sekolah swasta—Taman Siswa, Muhammadiyah, sekolah NU, sekolah swasta Islam lain, sekolah Katolik maupun sekolah Kristen—akan terkubur. Ada yang bertahan hidup, tetapi ibarat kerakap di atas batu. Mereka akan sulit mempertahankan mutu karena dana untuk proses belajar-mengajar (PBM) dan pelatihan guru drastis berkurang.

Padahal, sekolah-sekolah ini amat berjasa dalam perjuangan kemerdekaan dan pencerdasan bangsa. Di seluruh Indonesia sekolah swasta umumnya lebih bermutu daripada sekolah negeri. Data nilai evaluasi murni UN menunjukkan kenyataan ini. Jika sekolah swasta hilang dari peredaran, bangsa ini akan ”kehilangan” besar.

Yayasan sekolah swasta yang besar berkiprah tidak hanya di perkotaan, tetapi juga di pedesaan, bahkan di wilayah terpencil. Untuk bertahan hidup, digunakan subsidi silang. Kebijakan diskriminatif pemerintah akan berakibat tewasnya sekolah di kota. Selanjutnya sekolah di pedesaan akan ditutup. Mengapa pemerintah memilih menaikkan gaji guru PNS saja? Jika sekolah swasta di pedesaan ditutup, angka partisipasi anak usia wajib belajar pasti menurun. Karena itu, DPR hendaknya mempertimbangkan dampak ini dalam membahas alokasi dana tambahan ini.

Negara lain

Perkembangan di dunia menunjukkan gejala yang mirip. Pemerintah Inggris membangun sekolah negeri, tetapi juga tetap mempertahankan sekolah swasta yang berciri khas. Dana pendidikan termasuk gaji guru tidak dibedakan. Gejala ini juga terjadi di Malaysia dan Barat. Sekolah swasta umumnya tetap mempertahankan ciri khas meski hampir seluruh pembiayaan ditanggung pemerintah.

Di Malaysia hampir 50 tahun pemerintah berusaha menghapus sekolah swasta China, Tamil, dan Islam, tetapi sekolah-sekolah itu tetap bertahan hidup. PM Mahathir Mohamad bahkan secara khusus berusaha menghapus sekolah swasta Islam yang disebut sekolah agama rakyat (SAR), tetapi tak berhasil. Untuk sekolah swasta China, Tamil, dan Islam yang independen, pemerintah memberi subsidi sarana dan gaji guru.

Dulu Presiden Soeharto pernah berkata kepada Gubernur NTT Ben Mboy. ”Sekolah negeri dan swasta memang masih dibedakan. Namun, pada masa depan jika pemerintah sudah mampu, tidak akan dibedakan. Dana untuk pembangunan gedung, sarana, dan gaji guru sekolah swasta ditanggung pemerintah.”

Saat itu, perbedaan sekolah negeri dan swasta hanya pada papan nama sekolah. Kini tiba saatnya pemerintah mengakhiri tindak diskriminatif terhadap sekolah swasta saat 20 persen APBN dialokasikan untuk pendidikan.

Argumen

Argumen yang mendasari usul ini adalah, pertama, uang negara, yakni uang rakyat yang juga berasal dari pajak rakyat. Karena itu, perlakuan pemerintah harus sama. Sekolah swasta juga mendidik anak bangsa.

Kedua, sekolah negeri menunjukkan ciri pengelolaan seperti lembaga pemerintah. Kurang efisien, tak bersemangat wirausaha, dan kurang motivasi meningkatkan mutu. Adapun sekolah swasta memiliki elan vital mewujudkan visi dan misi khas serta bergantung kepercayaan masyarakat. Lebih inovatif karena didorong nilai tambah yang ditawarkan untuk meningkatkan nilai jual. Penerapan asas subsidi silang menjamin kelangsungan hidup sekolah di pedesaan. Sekolah dikelola seperti bisnis. Prinsip efisiensi konsisten dilaksanakan.

Ketiga, di suatu negara selalu ada kelompok masyarakat yang berjuang mewariskan nilai-nilai khas budaya, etnis, agama, dan ideologi. Upaya pemerintah menghapus sekolah swasta cenderung tak berhasil. Hal ini juga terlihat di AS. Sekolah swasta Kristen tetap hidup sejak akhir abad ke-19 hingga kini meski pemerintah selalu berusaha menghapus. Mutunya lebih baik dan penggunaan dana tetap efisien. Gejala ini juga terlihat di Indonesia. Di berbagai daerah, mutu sekolah swasta cenderung lebih unggul. Sekolah negeri yang bermutu umumnya hanya satu-dua di kota besar. Tibalah saatnya pemerintah menggunakan bisikan nurani dalam mengambil kebijakan pendidikan.

S BELEN Pemerhati Pendidikan

13 September 2008

Sst! Pemerintah Sedang Godok Aturan Baru Soal Berdemonstrasi!

Wahai para demonstran, ada berita buruk buat Anda. Dalam beberapa bulan ke depan, jika rencana pemerintah mulus, aksi unjuk rasa bakal lebih sulit untuk dilakukan. Apa pasal?

Sumber berpolitik menyebutkan, saat ini Kepolisian atas perintah Presiden SBY, dikabarkan tengah menggodok tentang aturan berdemonstrasi. Soalnya, aturan saat ini sudah dianggap tak memadai.

Yang terpokok, dalam aturan baru nanti, para pengunjuk rasa tidak lagi cukup sekadar memberitahu kepada aparat kepolisian tentang rencana unjuk rasa. Untuk menggelar demonstrasi, mereka harus mendapat ijin tertulis. Kalau ijin tak keluar, tentu saja aksi tak bisa dilakukan. Jadi, sangat mungkin kalaupun bisa digelar, sudah "basi".

Dan, tentu saja, untuk mendapat ijin itu soalnya tak gampang. Nantinya, untuk mendapat ijin, pelaku unjuk rasa harus mengisi formulir yang meminta informasi banyak hal, yang rasanya bisa langsung membuat kepala Anda "cenut-cenut" .

Harus Membeberkan Pelaku dan Penyandang Dana
Bayangkan, dalam formulir yang Anda harus isi, berbagai hal yang terkait pelaksanaan unjuk rasa harus Anda laporkan. Itu menyangkut soal struktur organisasi pengunjuk rasa: siapa yang jadi Komandan lapangannya, siapa yang jadi juru runding, siapa yang bertugas melakukan pengamanan, siapa yang bertindak sebagai "tim advance", siapa yang menyusun materi tuntutan, siapa yang memainkan peran sebagai dinamisator lapangan, dan seterusnya.

Dan, tak hanya itu. Anda juga harus melaporkan dimana saja dan kapan saja rapat-rapat persiapan unjuk rasa tersebut dilakukan. Tentunya, Anda harus pula melampirkan nama-nama yang ikut dalam rapat-rapat tersebut. Bahkan, direncanakan juga meliputi tapi terbatas menyangkut nomor telpon genggam, asal organisasi dan juga foto copy KTP yang bersangkutan.

Dan, akhirnya, Anda harus melaporkan berapa dana yang disiapkan untuk menyelenggarakan unjuk rasa. Yang terpenting: siapa saja yang menyediakan dana untuk menggelar aksi tersebut!

Belum Aksi, Sudah Jadi Tersangka
Dengan sederet "kelengkapan administrasi" seperti itu, para pelaku unjuk rasa bisa langsung ciut nyalinya. Bagaimana tidak. Sederet informasi yang harus diisi itu bakal menjadi bahan untuk menjerat mereka.

Sedikit kekeliruan saja memberikan informasi, bisa dipastikan Anda bakal dijerat dalam pasal penipuan dan sejenisnya. Jadi, sebelum unjuk rasa pun, Anda sudah sangat mungkin masuk bui.

Bagaimana polisi bisa tahu Anda memberikan informasi yang bohong? Ada banyak cara. Kalau untuk kelas mahasiswa dan pemuda, polisi sudah punya banyak agen ganda yang disusupkan dalam rapat-rapat perencanaan. Jadi, dengan mudah terdeteksi jika ada laporan yang dibuat Asbun (asal bunyi) ataupun Aspal (asli tapi palsu). Cara lain, tentus saja meliputi kerja teknis seperti menyadap telepon dan SMS dan menelusuri rekening bank Anda. Dan, masih banyak lagi.

Dan, ini termasuk dalam urusan dana. Polisi bisa membuat kalkulasi berapa anggaran dana yang semestinya disediakan. Kalau kemudian gelegar aksi Anda diperkirakan jauh melebihi dana yang dilaporkan, Anda bisa segera masuk bui karena membuat laporan palsu. Salah satu titik krusialnya menyangkut anggaran pengerahan massa.

Polisi pasti berpatokan pada angka dasar yang suka disebut oleh 'massa bayaran'. Nah, kalau peserta aksi itu membludak, namun anggaran yang dilaporkan dianggap terlalu rendah, bisa dipastikan Anda bakal langsung diuber-uber. Polisi pasti tak mau tahu kalau peserta aksi Anda bukan orang bayaran.

Yang lebih gawat, selalu ada kemungkinan Aksi anda disusupi massa limpahan yang tak ketahuan asal-usulnya. Mereka tak membuat rusuh, tetapi kehadiran mereka sudah cukup membuat laporan Anda terlihat palsu!


Mencegah Penggerusan Citra
Mudah untuk diduga, mengapa aturan ini hendak dilansir. Secara formal, pemerintah pasti bakal memakai pendekatan prosedural. Kurang lebih argumentasinya akan berpokok pada pernyataan, "demonstrasi tidak dilarang, tapi harus tertib, tidak menganggu dan harus bertanggung jawab".

Secara informal, sejumlah kalangan meyakini, pemerintah SBY gerah terhadap aksi-aksi unjuk rasa. Soalnya, aksi-aksi itu dianggap sebagai upaya kampanye negatif terhadap SBY dan kinerja pemerintah secara keseluruhan.

Harus diakui, memang ada sebagian unjuk rasa yang sangat mungkin menjadi kendaraan untuk menggerus citra SBY. Persoalannya, hanya gara-gara unjuk rasa yang demikian itu, banyak aksi unjuk rasa lainnya yang bakal terkena imbasnya.

Tentangan dari publik bakal banyak. Tapi, yang mendukung juga tak kurang-kurang. Yang mendukung ini terutama sekali adalah anasir-anasir dalam tubuh pemerintah dan korporasi yang terus terlilit sejumlah masalah.

Kalangan DPR juga dipastikan akan senang dan membiarkan aturan ini dibungkus dalam Peraturan Pemerintah atau yang lebih rendah. Ini menghindarkan mereka terkena imbas negatif sekaligus menjadi penikmat manfaat dari regulasi baru ini.

Nah, terpulang kepada Anda, wahai para pentolan unjuk rasa, untuk menimbang-nimbang resikonya. Ngomong-ngomong, siapa ya yang kasih ide ini ke SBY?