Powered By

Free XML Skins for Blogger

Powered by Blogger

blog-indonesia.com

27 Juli 2008

Belajar Mengembangkan Diri Melalui "Blog"


Siswa-siswi dari berbagai sekolah SMP dan SMA di Lampung mengikuti lomba pembuatan 1.000 blog di STMIK Darmajaya, Bandar Lampung, Kamis (24/7). Pembuatan blog yang mendapatkan penghargaan Muri tersebut diselenggarakan untuk memperkenalkan pendidikan berbasis internet atau e-learning kepada semua siswa di Sumatera.(KOMPAS/HELENA F NABABAN / Kompas Images)




Kompas - Minggu, 27 Juli 2008 | 03:00 WIB

Sebanyak 1.032 siswa SMP dan SMA tampak cekatan bekerja dengan komputer. Dalam waktu 10 menit mereka harus membuka materi yang telah mereka siapkan sebelumnya, memindahkan dan mengatur penampilan blog masing-masing. ”Tadi sempat kesulitan. Waktunya mepet sekali,” ujar Faris Prasojo (15), siswa kelas IX SMPN 4 Bandar Lampung.


Faris bersama siswa SMP dan SMA se-Lampung, Kamis (24/7), mengikuti lomba membuat blog yang diselenggarakan PT Telekomunikasi Indonesia Tbk (Telkom) Divisi Regional I Sumatera di STMIK Darmajaya, Bandar Lampung. Lomba itu merupakan bagian dari program Education for Tomorrow Telkom Indonesia yang memanfaatkan produk layanan sambungan internet dari Telkom, yaitu Speedy.


Melalui blog, siswa mengekspresikan pengetahuan maupun karya tulis mengenai berbagai topik yang dipelajari. Blog juga bisa menjadi sarana siswa mencatat pengetahuan yang mereka terima atau pelajari dari guru.


Lomba pembuatan blog itu mensyaratkan peserta yang sudah mendapat pembelajaran mengenai internet di sekolah atau siswa dan guru yang sudah terbiasa memanfaatkan internet sebagai media alternatif informasi selain buku ajar.


Executive General Manager Telkom Divisi Regional I M Awaluddin mengatakan, khusus untuk Lampung, Telkom mengembangkan pemanfaatan Speedy untuk membuat the future cyber school.


Sekitar 100 sekolah, baik SMP maupun SMA, di Lampung yang memanfaatkan produk Telkom itu untuk melengkapi aktivitas belajar-mengajar mendapat kesempatan untuk membuat portal atau profil mengenai sekolah masing-masing. Dari 100 sekolah itu, lebih dari 1.000 siswa sudah mengisi portal sekolah.


Para siswa mendapat kesempatan membuat blog mengenai berbagai hal yang sudah mereka pelajari. Blog itu akan ditempatkan pada portal sekolah masing- masing,” kata Awaluddin.


Pada lomba tersebut, panitia menyediakan dua deret panjang meja yang bisa dipakai 200-an siswa. Di setiap meja tersedia satu laptop yang dihubungkan dengan internet. Peserta lomba menggunakan laptop secara bergantian.


Karena peserta sudah menyiapkan materi dari rumah, panitia hanya menyediakan waktu 10 menit kepada tiap peserta untuk membuat blog masing- masing.


Antusiasme siswa sangat terasa. Topik percakapan mereka selalu mengenai blog, baik tampilan maupun isi secara detail.


Begitu satu siswa selesai membuat blog, teman-temannya segera mengerubuti dan bertanya mengenai proses pembuatan. Demikian juga dengan para guru pembimbing. Mereka langsung menyambut anak didik mereka dan menanyai proses lomba.


Wah, tegang sekali saya tadi. Waktu terasa cepat sekali, padahal saya tinggal copy and paste materi. Waktu latihan, saya bisa menyelesaikan lebih cepat,” ujar Sami Sungkar (13) pelajar SMPN 4 kelas VIII.


Program Education for Tomorrow sudah diselenggarakan di Jawa. Sumatera menjadi wilayah tujuan setelah Jawa.


Saat ini, dari 140 kabupaten di Sumatera, baru 127 kabupaten yang penduduknya sudah mengakses internet. Rencananya, akhir tahun 2008 semua kabupaten di Sumatera sudah terhubung melalui internet.


Education for Tomorrow diselenggarakan sesuai dengan keunggulan dan keunikan komunitas tiap-tiap kabupaten. Dalam hal ini, Lampung mengangkat the future cyber school, yaitu keterhubungan dengan internet sebagai media belajar. Hal berbeda bisa dilakukan di wilayah lain Sumatera.


Melalui pembuatan blog, siswa diajarkan untuk mengembangkan diri melalui pengetahuan yang bisa diakses melalui internet. Dengan demikian, siswa, guru, maupun sekolah tidak terjebak pada kegiatan belajar-mengajar konvensional satu arah seperti yang lazim berlaku di Indonesia saat ini. (hln)


25 Juli 2008

“Budaya” Tulis, Sudahkah Jadi “Budaya” Kita?

Bungkapit21


Yang tertulis akan tetap mengabadi dan yang terucap akan berlalu seperti angin...”


Dua tahun yang lalu, di sebuah kedai buku di Jogja, saya bertemu dan mulai berkenal akrab dengan seorang aktivis 98 yang kini masih konsisten di garis perjuangan. Di usianya yang belum bisa dikatakan tua dan tak pantas lagi disebut muda itu, ia masih saja berteriak lawan. Bahkan ia tak lelah untuk terus-menerus memprovokasi mereka, para generasi muda, untuk selalu menempuh garis perjuangan. Mempunyai keberpihakan terhadap massa rakyat yang tertindas. Karena sangat jelas bahwa revolusi merupakan alternatif pilihan yang tepat. Dengan kekuatan massa rakyat yang kuat, terdidik, terpimpin, dan terorganisisir. Hanya saja bentuk perjuangan yang dilakukan seorang yang saya kenal ini lebih banyak melalui pena. Ia tak sering lagi turun ke jalan. Ia hanya menulis. Menulis untuk mengagitasi. Menulis sembari berpropaganda.


Suatu waktu ia bertanya kepada saya, “Kapan nie kawan-kawan buat buku? Atau setidaknya kalau ada yang punya tulisan, kumpulkan, dan coba kirim ke penerbit. Masak gak ada yang suka menulis?” sontak saya merasa tertampar dengan pertanyaan tersebut. Dalam benak saya berkata, “Niat seh ada. Tapi, lha ya sebatas niat, belum bisa terealisasi. Jangankan menulis untuk sebuah buku, menulis sebuah artikel untuk buletin internal saja hanya segelintir kawan yang rutin melakukannya.”


Menulis memang bukan perkara yang sepele. Ia bukan suatu hal yang mudah bukan pula suatu hal yang sulit. Sebegitu pentingkah budaya tulis ini kita budayakan di dalam organisasi kita? Seberapa banyak pula di antara kita yang sudah memulai dan membiasakan budaya tulis ini? Ataukah jangan-jangan kita masih melanggengkan budaya lisan dari jaman feodal? Kalau pun itu yang terjadi, maka kelak yang ada hanyalah pendongeng dan pendengar cerita...selengkapnya

24 Juli 2008

PERS RELEASE

SERIKAT MAHASISWA INDONESIA


LAWAN PENJAJAHAN MODAL DAN ELIT-ELIT POLITIK ANTI RAKYAT BATALKAN KENAIKAN BBM, BERIKAN SUBSIDI YANG SEBESAR-BESARNYA UNTUK PENDIDIKAN GRATIS DAN KESEJAHTERAAN RAKYAT.


Salam Pembebasan


Desakan yang kuat dari kaum kapitalisme internasional untuk terus meliberalisasi seluruh kegiatan ekonomi dan tata politik nasional selalu mendapatkan restu dari elit-elit politik yang bertebaran di panggung trias politika nasional. Maka dengan segala antusiasme yang tinggi semua elit politik anti rakyat yang duduk di parlemen, jajaran eksekutif dan yudikatif, mereka menyambutnya dengan menyiapkan dan mengesahkan berbagai macam produk perundang-undangan dalam bentuk PP, UU, Perpes, Permen, dll.


Mereka semua bersatu padu untuk lebih mengarahkan masa depan Indonesia ke dalam sistem ekonomi-politik yang lebih ramah terhadap pasar dan terbuka atas intervensi pemodal asing maupun dalam negeri(baca: Neoliberalisme). Namun sangat tidak ramah bagi pertumbuhan kesejahteraan ekonomi rakyat.


Setidaknya sejak tahun 1998 hingga saat ini, liberalisasi terjadi dihampir semua bidang ekonomi-politik yang terus berjalan di atas relnya, semakin mendasari negara untuk mencabut perlahan-lahan dan semua subsidi-subsidi vital bagi rakyat semacam BBM, listrik, pertanian, lalu dijualnya sebagian besar aset BUMN-BUMN strategis(PT.KAI, PT TELKOM, PT.Semen Gresik, dll) kepada pihak swasta dalam dan luar negeri dengan alasan untuk mengurangi beban pengeluaran negara dan membangun kemandirian ekonomi rakyat.


Sementara itu secara bersamaan negara juga telah membuka lebar pintunya untuk pasar dan perdagangan bebas di beberapa kawasan ekonomi khusus Indonesia untuk membangun KEKI yakni Indonesia harus memperbaiki segala kebijakan hukumnya, konsistensi kebijakan, dan adanya regulasi untuk menjalankan kebijakan, perbaikan infrastruktur dan pemberian intensif kepada investor/pemodal dalam dan luar negeri(Bisnis Indonesia, 7/8/2007). Hal ini kemudian oleh negara diatur dalam PERPU No.1 Tahun 2007 tentang penetapan syarat KEKI dan wilayah prioritas sebagai amandemen dari UU No.36 tahun 2000 tentang Free Trade Zone(FTZ). Di Indonesia terdapat 112 kawasan industri di 10 propinsi yang akan disiapkan untuk menjadi KEKI. Kesepuluh propinsi itu adalah Aceh, Sumut, Bintan-Batam, DKI Jakarta, Jateng, Jatim, Sulsel, dan Kaltim.


Hingga saat ini ternyata sistem kepemilikan struktur agraria nasional belum berubah total dengan model yang kerakyatan. Akhirnya menyebabkan sumber-sumber agraria seperti hutan, laut, dll di Indonesia secara perlahan terus dikuasai oleh para pemodal besar untuk kepentingan pemenuhan bahan baku industri MNC/TNC yang beroperasi secara eksploitatif, akumulatif, dan ekspansif. Beberapa gambaran singkat di atas itu bisa sangat nyata bahwa liberalisasi ekonomi-politik di Indonesia saat ini sudah bersinergi kuat dalam prakteknya. Keadaan itulah yang menjadi salah satu sebab utama kenaikan BBM rata-rata sebesar 28,7 % pada tanggal 24 Mei 2008.


Jika dilacak dari akar sejarahnya sekitar tahun 2000, Amerika masuk lewat USAID menyediakan hutang untuk memulai proses liberalisasi sektor migas baik di sektor hulu maupun hilir. Mereka bekerja sama dengan IDB dan WB untuk menyiapkan draft UU yang ditujukan mereformasi total sektor energi secara keseluruhan. Maka pada tahun 2001 terbitlah UU migas yang di dalam salah satu pasalnya UU Migas 2001 pasal 28 Ayat 2 dengan tegas menyatakan bahwa: “Harga BBM dilepas sesuai dengan mekanisme pasar.” Aturan itu semakin kuat dengan skema pada tahun 2005 dan penjelasan APBN-P 2008 tentang pencabutan subsidi BBM secara bertahap sampai pada akhirnya pemerintah tidak mensubsidi BBM sama sekali. Sehingga tidak menutup kemungkinan bahwa selambat-lambatnya pada tahun 2009 harga BBM di Indonesia sama dengan BBM internasional sebesar Rp.12.000/liter.


Akibat liberalisasi migas sektor hulu, Indonesia sudah banyak mengalami kerugian besar akibat dari pembayaran cost recovery trilyunan rupiah kepada kontraktor migas asing. Dan kondisi itu diperparah dengan liberalisasi sektor hilir(eceran) migas sehingga mengakibatkan penguasaan sektor migas di Indonesia sekarang telah bergeser dari pemerintah(Pertamina) ke raksasa-raksasa minyak dunia semacam Shell, Caltex, Petronas, Gulf Oil, Agip, Chevron, British Petroleoum, Conoco Philip, dll. Mereka para raksasa minyak dunia itu telah mengantongi izin untuk membuka 2000 SPBU di seluruh Indonesia yang akan beroperasi secara penuh pada tahun 2010.


Akhirnya dalam pandangan Serikat Mahasiswa Indonesia secara tegas melihat bahwa pemerintah dan seluruh elit poltik yang memberikan andil besar dalam menaikkan BBM sesungguhnya bukan disebabkan karena membengkaknya beban APBN 2008 yang terapresiasi oleh melambungnya harga minyak dunia, sehingga menanggung kerugian yang sangat besar. Padahal sebab-sebab kenaikan BBM di Indonesia lebih dikarenakan adanya program-program liberalisasi sektor energi dan migas di dalam negeri. Tingginya cost recovery pengelolaan migas yang dibayarkan kepada kontraktor/perusahaan pemenang tender eksplorasi ladang minyak di Indonesia dan tidak jelasnya DMO yang ada.


Iklim liberalisasi(penjajahan modal) juga semakin menerjang sektor pendidikan nasional dari tingkat dasar sampai perguruan tinggi, yang akarnya sudah ditancapkan pada saat Indonesia menandatangani GATTS dan AFAS yang mengatur perdagangan bebas di 12 sektor jasa; salah satunya adalah pendidikan. Bisa dirasakan secara konkrit dampaknya yakni biaya pendidikan makin mahal dan semakin susah dijangkau oleh rakyat yang saat ini mengalami penurunan daya beli dan konsumsi akibat membengkaknya harga-harga di pasaran.


0penataan pilot proyek liberalisasi alias penataan industrialisasi perguruan tinggi pasca reformasi sudah disiapkan secara sistematis melalui payung PP No.60 Tahun 1999 Tentang Perguruan Tinggi, PP No.61 Tahun 1999 Tentang Penetapan Perguruan Tinggi Sebagai Badan Hukum Milik Negara, PP No.151 Tahun 2000, PP No.152 Tahun 2000, PP No.153 Tahun 2000, PP No.154 Tahun 2000, dan PP No.06 Tahun 2004. Itulah kelengkapan legal untuk menata empat perguruan tinggi negeri tertua di Indonesia, yaitu ITB, UI, UGM, dan IPB yang kemudian diikuti oleh USU, UPI, dan terakhir UNAIR menjadi Perguruan Tinggi Badan Hukum Milik Negara. Lalu lebih disempurnakan lagi agar dalam bentuk UU No.20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas dan RUU BHP. Tentu saja bisa kita bayangkan bagaimana pendidikan nasional ke depan yang sangat pro modal dan anti terhadap rakyat khususnya mereka yang berpendapatan rata-rata 1juta/bulan.


Indonesia yang memiliki 222.781.000 jiwa(BPS, 2005) dengan angkatan sekolah di seluruh Indonesia sekitar 38,5 juta anak usia SD 6-12 tahun, 25,6 juta anak usia SMP 13-15 tahun, dan 12,8 juta anak usia SMA 16-18 tahun(Kompas, 26/2/2005) dan rata_rata tingkat partisipasi di pendidikan tinggi sekitar 14% dari jumlah penduduk usia 19-24 tahun. Tiga tahun yang lalu saja ketika BBM belum naik betapa beratnya rakyat menjangkau pendidikan yang layak. Maka saat ini jumlah calon mahasiswa yang masuk perguruan tinggi mengalami penurunan rata-rata sebesar 20-27%. Bahkan UGM juga mengalami penurunan calon mahasiswa yang cukup signifikan.


Perlu dicatat bahwa pada hari ini tanggal 17 Juli 2008, Serikat Mahasiswa Indonesia bergerak secara nasional dan sadar sepenuhnya bahwa neoliberalisme sesungguhnya menyebabkan BBM naik. Diswastanisasikan BUMN-BUMN strategis, dicabutnya subsidi-subsidi untuk rakyat dan mahalnya biaya pendidikan nasional.


Oleh karena itu Serikat Mahasiswa Indonesia menutut :

  1. Batalkan kenaikan harga BBM dan tolak kenaikan harga BBM tahun depan.

  2. Batalkan kenaikan harga LPG

  3. Tolak rencana kenaikan TDL

  4. Berikan pendidikan gratis, ilmiah, demokratis dan bervisi kerakyatan untuk seluruh rakyat.

  5. Tolak penjualan aset-aset vital milik negara

  6. Berikan kembali subsidi kepada rakyat yang sebesar-besarnya

  7. Adili dan hentikan tindakan represifitas aparat negara terhadap rakyat.


Serikat Mahasiswa Indonesia Menyerukan Kepada Massa Rakyat Untuk:

  1. Mengkampanyekan terus kegagalan-kegagalan praktek ekonomi politik neoliberalismedi Indonesia.

Mengapa hal tersebut patut dilakukan? Karena memang secara konkrit massa rakyat di Indonesia belum banyak yang mengetahui apa praktek neoliberalisme itu dengan segala cara kerjanya yang membuat rakyat miskin, jutaan tenaga produktif menjadi pengangguran, hilangnya subsidi publik, dijualnya BUMN-BUMN strategis, diupahnya buruh secara murah, pendidikan nasional semakin mahal tak terjangkau oleh anak-anak dari keluarga miskin, dll.


  1. Negara harus bertanggung jawab secara konsisten dalam meberikan subsidi yang layak dan sebesar-besarnya untuk kesejahteraan massa rakyat.

Mengapa hal itu patut dilakukan oleh massa rakyat? Karena saat ini pemerintah yang berkuasa adalah sangat setia dengan garis politik neoliberalisme yang sangat anti terhadap pemberian subsidi sosial dengan alasan dapat menyebabkan pemborosan (inefisiensi) APBN. Kalau demikian adanya maka tuntutan untuk memperbesar subsidi adalah hal yang wajib terus diminta oleh massa rakyat agar negara ini semakin terdorong ke arah anarki APBN yang akhirnya mempertajam krisis internalnya.


  1. Memblejeti praktek dan perilaku obral janji palsu dari partai-partai politik{Golkar, PDI-P, PKB, PPP, Demokrat, PAN, PKS, dll) dan elit-elit politik borjuis.

Mengapa hal tersebut patut dilakukan? Karena praktek dan perilaku politiknya lebih banyak pro pemodal yang mendukung dan membiayai kegiatan secara langsung maupun tidak langsung sehingga jika mereka menang dalam pemilu tentu saja kemenangan itu diperuntukkan kepada para pemodal, bukan untuk massa rakyat yang menjadi konstituenya.


  1. Memperkuat dan terus membangun hubungan politik secera berkesinambungan dengan organisasi rakyat disemua teritori perlawanan dan sektor massa rakyat dengan mempergencar pendidikan politik kerakyatan yang kongkrit.

Mengapa hal tersebut patur dilakukan? Karena sampai saat ini yang bisa dipercaya serta merekalah yang bekerja secara tulus demi terwujudnya cita-cita pembebasan nasional dari imperialisme adalah organisasi-organisasi rakyat yang hampir semua aktifitas politiknya mendidik dan menggerakkan kesadaran berlawan anggota dan rakyat pada umumnya.


  1. Membangun persatuan politik yang progresif dan kerakyatan untuk mengimbangi hegemoni elit-elit politik dan kaum pemodal.

Mengapa hal tersebut patut dilakukan? Jelas ini adalah usaha untuk menyatukan semua visi, taktik perjuangan agar semua organisasi rakyat yang saat ini bergerak saling mendukung secara positif sehingga menjadi alternatif terbaik bila bersatu dalam wadah perjuangan bersama.


Jalan Keluar Untuk Rakyat :

  1. Pendidikan nasional gratis, ilmiah, demokratis, dan bervisi kerakyatan

Ini adalah salah satu syarat yang mutlak untuk membangun kebudayaan nasional yang tangguh dan mandiri serta menciptakan tenaga-tenaga produktif yang maju dengan visi kerakyatan yang kuat. Sehingga sangat berguna bagi pelaksanaan program-program nasional yang strategis serta bersifat kerakyatan.


  1. Bangun industri nasional(industri dasar, industri berat) yang kerakyatan

Jelaslah bahwa sebagai sebuah negara yang dipersiapkan untuk membendung serbuan komoditas barang dagangan dan jasa dari negara-negara imperialis. Pada satu sisi ini juga sebagai syarat utama untuk menuju tatanan masyarakat baru yang maju.


  1. Laksanakan reforma agraria sejati

Sebagai salah satu modal untuk pembangunan nasional strategis serta terencana juga dibutuhkan untuk mengangkat kesejahteraan masyarakat pedesaan sehingga bisa meredam laju urbanisasi ke perkotaan akibat timpangnya struktur penguasaan sumber-sumber agraria. Di sisi lain juga berguna untuk pemenuhan bahan-bahan baku industri nasional.


  1. Nasionalisasi aset-aset vital demi kesejahteraan rakyat

Sebagai salah satu modal yang besar dan pembiayaan bagi pembangunan nasional terencana yang strategis. Di sisi lain juga bisa menunjukkan kedaulatan ekonomi politik nasional dengan karakter anti imperialisme.


  1. Putus hubungan ekonomi-politik dengan negara dan kaum imperialis di seluruh dunia.

Usaha nasional secara politik untuk menegakkan kedaulatan politik nasional yang anti intervensi politik kaum imperialis yang berwatak menjajah massa rakyat maupun nation yang memang selama ini Indonesia telah tidak memiliki kedaulatan politik dalam arti sesungguhnya.


  1. Bangun hubungan ekonomi politik yang adil dan seimbang dengan negara-negara progressif dan anti imperialis.

Menciptakan dunia yang cinta damai dan saling memajukan satu dengan yang lain dalam konteks hubungan internasional yang seimbang dan kerjasama ekonomi politik yang saling menguntungkan. Di sisi lain bisa menciptakan blok baru yang menjadi lawan langsung dari politik internasional kaum imperialisme di dunia ini.


Salam Pembebasan

13 Juli 2008

Kajian Sastra dalam Masyarakat Indonesia

Oleh Aprinus Salam



Dalam sejumlah kesempatan, sering muncul pertanyaan apa hubungan kajian sastra dengan masalah-masalah yang dihadapi masyarakat Indonesia? Pertanyaan tersebut tentu perlu mendapat tanggapan serius, bukan saja berkaitan dengan relevansi kajian sastra terhadap masyarakat, melainkan pula terhadap orientasi dan masa depan ilmu dan kajian sastra itu sendiri.

Tidak dapat dimungkiri masih sering muncul pertanyaan apa yang dapat dipelajari dari sebuah puisi, cerpen, atau novel. Latar belakang pertanyaan tersebut muncul karena masih terpeliharanya asumsi dan persepsi bahwa mempelajari puisi seolah mempelajari keindahan olah kata. Atau mempelajari novel seolah mempelajari sebuah cerita fiktif, cerita yang mengada-ada, yang hampir tidak berhubungan dengan fakta-fakta dalam realitas kehidupan. Itu pula sebabnya, kemudian muncul pertanyaan, setelah mempelajari sastra, atau lulusan sarjana sastra itu bisa bekerja di mana? Atau instansi apa yang dapat menerima sarjana yang lulus karena mempelajari puisi, cerpen, atau novel?

Di Indonesia, pertanyaan tersebut tentu tidak sepenuhnya salah. Hingga hari ini, pelajaran dan pengertian sastra (terutama di SMP dan SMA), masih bergerak dalam penapisan struktural. Bahkan beberapa kurikulum di perguruan tinggi pun masih ''mempertahankan'' paradigma itu sehingga persoalan sastra seolah bergerak hanya dalam koridor tema, penokohan, latar, alur, sudut pandang penceritaan, gaya bahasa, dan sebagainya. Pengetahuan itu dipelihara, disimpan, dan diteruskan sehingga para pelajar (dan masyarakat) masih ''berkeyakinan'' bahwa persoalan sastra tidak lebih dari itu. Yang mengherankan, sejumlah buku (teori) yang belakangan terbit tentang kesusastraan masih meneruskan tradisi itu.

Memang, penapisan struktural penting karena bagaimanapun teori itu menjadi dasar bagi pengetahuan kesusastraan. Masalahnya, teori-teori struktural justru mulai tidak relevan karena tidak menjelaskan sejarah, konteks, dan sosiologi kehadiran sebuah karya sastra. Teori struktural juga tidak meletakkan substansi karya sastra sebagai sebuah karya yang mampu mengemas persoalan manusia dan masyarakat secara esensial. Hal yang dimaksud sebagai sesuatu yang esensial adalah bahwa berbagai persoalan faktual yang dihadapi manusia dikemas dalam suatu ''abstraksi universal'' sehingga ''fakta cerita'' (fiksi) menjadi sesuatu yang mampu menelanjangi hakikat persoalan manusia.

Belakangan ini, mengingat sejumlah persoalan yang semakin runyam, relevansi dan kontribusi kajian sastra semakin dipertanyakan dalam ikut memikirkan masalah yang dihadapi masyarakat Indonesia. Masalah-masalah itu antara lain, seperti kita sudah sangat tahu, masalah kemiskinan, kebodohan, dan ketertinggalan. Dalam perspektif yang lebih spesifik terdapat juga masalah korupsi, ketidakadilan dalam berbagai bentuknya, konflik dan kekerasan, kesemrawutan sosial, keuangan yang mahakuasa, dan sebagainya.

Memang, pertanyaan itu terkesan tidak adil ketika sastra, pengetahuan yang dianaktirikan, harus menanggung beban masalah sebesar dan seberat itu. Akan tetapi, harus ada sikap-sikap yang bersifat ideologis dan berpihak terhadap masalah bangsa dan negara, ketika ilmu-ilmu lain, seperti ekonomi, politik, atau teknologi, justru terlibat dalam persoalan (dan penyebab) kemiskinan, kebodohan, atau bahkan ketidakadilan.

* * *

Persoalannya adalah bagaimana sesuatu yang esensial tersebut dikaitkan dengan persoalan yang dihadapi masyarakat Indonesia. Dalam hal itu, hal yang perlu dipahami adalah bahwa karya sastra merupakan ''hasil seleksi'' dari berbagai peristiwa dan kejadian, disaring secara substansial dari berbagai motif fakta kemanusiaan, dipikirkan dengan jeli dan rumit, dan dikemas dalam satu jaringan tekstual yang berfungsi sebagai penanda. Hasilnya adalah sebuah teks yang dapat dijadikan ''sumber informasi'' dalam memahami berbagai persoalan manusia dan suatu masyarakat.

Kunci utama persoalan terletak pada adanya pengakuan bahwa pada akhirnya hal-hal yang perlu dipelajari dan ditafsirkan, baik dalam ilmu politik, hukum, sosial, ekonomi, agama, budaya, bahkan teknologi adalah kata, ungkapan, pernyataan, atau cerita. Dalam kasus-kasus politik atau agama, memang terdapat fakta-fakta di tingkat kenyataan, seperti kasus-kasus kekerasan atau pergeseran-pergeseran kecenderungan/fenomena kehidupan sosial.

Ketika kita mempelajari kasus kekerasan atau berbagai perubahan kecenderungan tersebut, yang kita pelajari adalah kata, ungkapan, cerita, atau tegasnya teks. Dalam arti, berbagai kejadian atau peristiwa itu pada akhirnya direkam (dalam berbagai cara), disampaikan, didiskusikan, dianalisis, ditafsirkan, dicarikan solusinya, berdasarkan hasil laporan, cerita, atau teks.

Kasus mutakhir yang membuat heboh, misalnya, kasus SKB tiga menteri berkaitan dengan posisi atau kedudukan Ahmadiyah. Hal yang membuat heboh adalah teks keputusan itu, yang diramaikan adalah teks. Sejumlah peneliti dalam mendapatkan informasi juga berdasarkan wawancara (cerita informan) atau berdasarkan sejumlah tulisan (teks). Lantas, apa bedanya dengan karya sastra?

Hal yang membedakan adalah karya sastra ditulis dan dikemas dalam satu abstraksi peristiwa/kejadian sehingga karya sastra menjadi sesuatu yang, seolah-olah, tidak berhubungan dengan kenyataan. Padahal, karya sastra justru mengangkat peristiwa atau kejadian tersebut secara berbeda, secara simbolik, dan dalam cara-cara tertentu justru menjadi sebuah teks yang informatif karena berbagai kejadian disajikan dalam sebuah cerita yang inspiratif dalam memahami peristiwa atau kejadian yang terjadi di masyarakat.

Dalam paradigma itulah, kajian sastra selayaknya dapat dikembangkan menjadi salah satu sumber dalam memahami apa yang sesungguhnya sedang terjadi di masyarakat. Novel Proyek karya Ahmad Tohari, misalnya, dapat dijadikan salah satu bahan bagaimana menjelaskan alur korupsi, bagaimana karakter-karakter yang terlibat, sebab-sebab terjadinya korupsi, dan bagaimana korupsi menjadi suatu budaya dalam masyarakat Indonesia.

Novel Mantra Pejinak Ular karya Kuntowijoyo dapat dijadikan informasi dan inspirasi bagaimana memahami jalannya politik di Indonesia. Bahkan juga dapat dipakai bagaimana menggerakkan masyarakat untuk lebih sadar berhadapan dengan lingkungan hidup. Novel Umar Kayam Para Priyayi dan Jalan Menikung dapat dijadikan bahan yang sangat penting dalam memahami persoalan perubahan sosial Indonesia.

Tentu banyak karya sastra lain, termasuk cerpen dan puisi, yang dapat dijadikan bahan atau sumber informasi, sumber inspirasi, dalam memahami persoalan kriminalitas, persoalan demokrasi, ketidakadilan, dan berbagai konflik dan kekerasan yang terjadi di Indonesia. Berbagai kajian itu selayaknya diapresiasi dengan kejadian di tingkat kenyataan sehingga karya sastra mendapat posisi yang lebih kontekstual dalam persoalan-persoalan yang dihadapi masyarakat Indonesia.

Saya mengira, mengingat berbagai persoalan yang dihadapi masyarakat Indonesia, kajian (sastra) yang tidak mencoba membantu menjelaskan atau memberi pemahaman baru, atau yang tidak mencoba membantu mencarikan solusi dalam mengatasi berbagai masalah yang dihadapi Indonesia, bangsa yang hampir tidak pernah keluar dari rundung kemalangan dan kemiskinan, kajian itu secara relatif mungkin tidak berguna. (*)


*) Aprinus Salam, dosen Fakultas Ilmu Budaya UGM, Jogjakarta


Sumber : Jawa Pos, 13 Juli 2008

Kota yang Tenggelam dalam Seribu Karangan Bunga

Oleh : Afrizal Malna

Selamat tinggal kedaerahan .... Selamat tinggal lelaki dan perempuan ....


Selamat tinggal ”nasionalisme sastra” yang terperangkap dalam masalah-masalahnya sendiri.


Kita bukan lagi suku-suku, kita adalah manusia. Kita bukan lagi lelaki dan perempuan, kita adalah manusia. Suatu hari nanti, dan kalau lebih bergegas lagi, sekarang juga: selamat tinggal tradisi, kalau globalisasi begitu mencemaskan kita. Dan kecemasan itu menjadi celaka ketika lewat tradisi, kita justru kembali lagi ke dalam bentuk kolonialisme baru manakala tradisi itu sendiri ternyata adalah hasil seleksi sejarah yang dilakukan kekuasaan kolonial, manakala tradisi itu telah jadi salah satu ikon dari struktur penindasan kolonial yang akar keberadaannya telah mengalami kosmetika.


Kita adalah generasi pasca-Indonesia, kata YB Mangunwijaya, yang sadar bahwa Indonesia adalah ikon pasca-kolonial justru dari hasil konstruksi sejarah kolonial. Dan nasionalisme kita lebih luas dari Indonesia itu sendiri.


Globalisasi tidak lantas dihadapi lewat teori-teori konflik, seperti budaya tanding, dengan mengedepankan kembali budaya lokal. Percayalah, sejarah akan menenggelamkan kita kembali untuk bisa bersama-sama menemukan bahasa dunia dalam persamaan dan perbedaan kita. Kita tidak akan pernah mencapai ”multikulturalisme” yang kini sedang menjadi isu global kalau perbedaan ditempatkan sebagai posisi yang paling artikulatif. Sama gentingnya kalau persamaan juga ditempatkan dalam posisi yang paling artikulatif.


Imajinasi kita ada dalam suara hujan yang bersayap. Imajinasi kita menembus nama-nama kita, menembus ketakutan-ketakutan kita dan kita bertemu kembali dengan kenyataan tak terbantahkan bahwa kita hidup dengan pagi dan malam yang sama, walaupun kita memiliki musim yang berbeda.


Dunia kritik sastra kita masih berdiri di belakang, bahkan di sebuah tikungan antara fiksi, kenyataan, dan metode membaca sastra dari balik jendela berkaca. Kritik yang masih ragu-ragu melihat bahwa sebenarnya karya- karya sastra kita masa kini sudah memasuki tema-tema ”trans-lokal”, ”trans-jender”, dan ”trans- pop”. Hubungan yang akrab dengan data, sains, dan filsafat sebagai wacana yang tidak lagi berada di menara gading, melainkan ada dekat di sekitar mereka. Generasi yang memperlakukan setting dalam novel-novel mereka seperti mengganti wallpaper dalam cover komputer, tetapi mereka menguasai detail setting itu lewat penelitian yang mencengangkan.


Sebagian dari generasi itu, bukan lagi generasi sastra dengan pergaulan komunitas sastra. Sastra bagi mereka mungkin tidak lebih dari sekadar media individual dan tidak harus menjadi bagian dari komunitas sastra yang menghabiskan waktu-waktu mereka, mengorbankan berbagai momen dari pertemuan, pergaulan dan realitas yang lain yang mungkin terjadi.


Kesan-kesan seperti ini, walaupun tidak terlalu eksplisit, dapat ditangkap dalam uraian Sumaryono Basuki ketika menjelaskan karya-karya prosa (cerita pendek maupun novel) yang terbit setelah reformasi. Terutama karya- karya yang ditulis para sastrawan perempuan. Pembicaraan yang dilakukan dalam forum ”Temu Sastra Indonesia 1” di Jambi, 7-10 Juli kemarin.


Ketika sastra bergaul kian dekat dengan filsafat, sains, dan sejarah, seakan-akan wacana-wacana ini ada di halaman belakang rumah kita dan bukan di halaman depan, maka kita juga bisa mengatakan dengan rela: sastra sudah mati. Sastra sudah menyelusup jauh memasuki berbagai wacana utama dan merajut kembali wacana-wacana itu dalam rajutan baru di mana kita mulai bisa berpikir dengan imajinasi, menembus cadar politik pemaknaan untuk membaca sistem makna yang berlangsung dalam kehidupan sehari-hari kita lewat imajinasi dan data.


Pada saat itu, karya sastra mulai menyimpan harapan untuk lahirnya masyarakat sastra yang membaca dan menulis dengan kesadaran sebagai ”politik wacana”. Dan bertanya lagi: masa depan seperti apa, kehidupan bersama seperti apa yang mungkin tumbuh dari sistem makna yang mereka jalani sekarang?


Politik wacana yang mengerti bahwa setiap kemerdekaan dibatasi dengan kemerdekaan orang lain, sampai kemerdekaan itu tidak ada, sampai kemerdekaan itu mati, seperti dinyatakan Putu Wijaya dalam monolognya di forum itu. Ketika kemerdekaan memang mulai dibatasi dengan adanya kemerdekaan lain, maka orang tidak perlu lagi meneriakkan kemerdekaan, tidak perlu lagi mengemis kemerdekaan, karena kemerdekaan telah menjadi makna dari keberadaan kita.


Forum ini, di samping membicarakan tema-tema kritik sastra (Sumaryono Basuki, Harris Effendi Thahar, Suminto A Sayuti, Hary S Harjono, Ahda Imran, dan Maizar Karim), juga dilengkapi dengan tema-tema advokasi dan promoting sastra dengan menghadirkan profesi hukum dan beberapa redaktur media massa cetak (Abdul Bari Azed, Fadillah, Ahmadun Y Herfanda, Kartini Nurdin, dan Triyanto Triwikromo).


Tema advokasi ini mencoba mendudukkan bahwa kedewasaan kehidupan publik ditentukan oleh kesadaran yang berjalan seimbang antara hak dan kewajiban. Keduanya tidak harus saling menghukum atau meniadakan yang lain, dengan menempatkan karya yang dihasilkan individu dari kehidupan publik itu sebagai sesuatu yang mudah dihancurkan. Perapuhan terhadap posisi individu, pada gilirannya berimplikasi menghasilkan kehidupan publik yang tidak pernah dewasa, sensitif, dan mudah diprovokasi yang membakar dirinya sendiri.


Para sastrawan yang datang dalam forum ini dari Kalimantan, Jawa, Bali, Sumatera dan, Nusa Tenggara Barat, dari Shantinet sampai Ratna Dewi.


Lewat forum ini pula, yang memang tidak memiliki tema yang eksplisit, juga tidak melahirkan isu yang cukup artikulatif, Jambi menyediakan diri untuk menampung kemungkinan berdirinya wadah sastra Indonesia (Firdaus, Acep Zamzam Noor). Hadirnya Jambi dalam pentas sastra Indonesia bisa dibaca sebagai fenomena munculnya kota-kota yang mencoba menggunakan sastra sebagai ikon mereka. Jambi merasa memiliki sejarah dan latar belakang trans-lokal untuk memasuki pentas sastra itu.


Fenomena munculnya kota- kota yang mendekatkan diri kepada sastra, juga bagian dari politik otonomi di mana pemilihan kepala daerah kini telah menjadi seremoni baru di banyak kota. Peristiwa politik yang juga mencoba menanamkan investasi nilai pada sastra dan sebaliknya.


Fenomena di mana kian mendekatnya sastra ke politik ini, menjadi sebaliknya dengan fenomena seni rupa yang kian dekat dengan ekonomi. Kedekatan itu akan membawa posisi yang dilematis antara keduanya manakala infrastruktur dan suprastruktur seni dalam masyarakat kita tidak berjalan seimbang. Yang satu mengalami dilematis secara politis, yang lain mengalami dilematis dalam hukum-hukum pasar yang mengatasinya.


Fenomena itu mungkin juga bagian dari tanda bahwa masyarakat urban kian membutuhkan seni yang mampu mewakili nilai-nilai mereka, sekaligus mereka bisa melakukan investasi dalam nilai-nilai itu. Berbagai pertemuan sastra, yang tidak mampu mendesain dirinya lewat fenomena ini, termasuk lewat perkembangan sastra itu sendiri; kuratorial yang lebih mementingkan kuantitas daripada kualitas dan menenggelamkan visi hanya untuk terjadinya seremoni kuantitas, tidak akan pernah bertemu dengan apa yang pernah disebut Iwan Simatupang dalam salah satu karyanya: Kota yang tenggelam dalam seribu karangan bunga.


Dan orang mengenang, kita pernah datang ke kota itu. Merayakan imajinasi untuk impian- impian lainnya.



Sumber : Kompas, 13 Juli 2008


Pesta Puisi di Kediri

Oleh: D. Zawawi Imron


Sekitar 50 sastrawan dari kawasan Asia Tenggara berkumpul di Kediri, 30 Juni sampai 3 Juli 2008. Mereka mengadakan ''Pesta Penyair Nusantara 2008''. Di antaranya ada Ahmadun Yosi Herfanda, Viddy A. Daery dari Jakarta, Dinullah Rayes dari Sumbawa, dan Anil Hukma dari Makassar. Di samping itu, banyak lagi penyair dari Tegal, Bandung, Jogjakarta, Medan, Pekanbaru, Samarinda, dan lain-lain. Dari Malaysia datang Dato' Kemala dan Malim Ghozali, sastrawan dan ahli matematika Alquran.

Meskipun disebut ''Pesta Penyair Nusantara 2008'', acaranya tidak hanya baca puisi saja. Tak kalah pentingnya ialah seminar dan diskusi tentang perkembangan puisi di Asia Tenggara.

Penyair berdiskusi sesama penyair tentu saja seru. Aneka argumentasi disampaikan yang harus dijawab dengan argumentasi yang lebih akurat. Diskusi-diskusi tentang puisi tidak hanya menarik kalangan penyair saja. Nuruddin Hasan, anggota DPRD Kodya Kediri, selalu hadir sejak pembukaan sampai diskusi hari terakhir. Meskipun bukan penyair, ia masih ingin mendapatkan suara nurani para penyair di samping ingin mendapatkan informasi terbaru tentang perkembangan puisi mutakhir. Sebagai seorang aktivis politik mungkin ia sepaham dengan ucapan Presiden Amerika, John F. Kennedy bahwa, ''Kalau politik kotor puisilah yang akan membersihkannya.''

Dikisahkan, ketika Kennedy dilantik menjadi Presiden Amerika Serikat, ia tidak lupa kepada puisi. Buktinya, ia mengundang Robert Frost, penyair besar Amerika pada pertengahan abad ke-20 untuk membaca puisi. Itu artinya, acara pesta puisi yang berlangsung di Kediri selama 4 hari itu tidak lain sebagai sejenis jawaban terhadap keresahan dan suara-suara sumbang dari perilaku sebagian politikus di tanah air. Konon ada orang politik jadi makelar penebangan hutan, ada calon lurah, bupati, dan gubernur membiarkan konstituennya ngamuk ketika kalah pilkada, dan lain-lain. Belum politikus yang memecah partainya sendiri seperti memecah gelas atau cangkir, di samping berita ketidakramahan lainnya yang mencerminkan sebagian (kecil?) dari tokoh-tokoh bangsa kita kehilangan rasa santun.

Pesta puisi yang digelar di Kediri itu adalah upaya para penyair untuk tetap bersama dengan nurani bangsa ini. Kata begawan Budi Darma, titik berat kepenyairan ialah perjuangan penggabungan dulce et utile, keindahan, dan manfaat. Dalam utile, terdapat unsur moral yang bisa dipetik oleh pembaca, lengkap dengan kearifan untuk hidup damai. Budi Darma memang tidak setuju utile yang terlalu eksplisit, karena bisa menganggu dulce, keindahan puisi itu sendiri.

Jika puisi benar-benar digunakan untuk menghormati kehidupan dan kemanusiaan seperti yang tersirat pada pendapat Budi Darma di atas, maka puisi, atau pesta penyair akan menjadi sejenis ''oase'', tempat para pengembara kehidupan dari berbagai sektor dan lapisan bisa meneguk air nurani, atau air kehidupan. Bukankah dulu orang Jawa minum kejujuran dari Serat Kalatida-nya Ronggowarsito dan puisi-puiti tembang lainnya?

Pesta Penyair Nusantara 2008 memang berlangsung sederhana. Panitia sendiri mengaku kesulitan dana. Itulah nasib perjuangan kebudayaan. Namun di balik kesederhanaan itu ada nilai, yaitu sinyal adanya orang-orang yang masih setia kepada kemanusiaan dan keindahan. Orang yang rindu meneguk kejernihan sukma sejati.

Seminar dan diskusi yang berlangsung di aula Universitas Kediri berjalan seru. Tetapi di luar gedung seminar, para peserta minum kopi di warung di seberang aula, yang asalnya hanya omong-omong santai, kadang-kadang meningkat menjadi pembicaraan serius, tentang sastra dan seni antarnegara. Saya lihat pianis Agus Bing (Indonesia) yang berdiskusi dengan Malim Ghozali (Malaysia) tiba-tiba menjalin kesepakatan. Keduanya akan berkolaborasi pada 30 Agustus nanti. Malim Ghozali akan meluncurkan dan membaca puisi di Kualalumpur dengan iringan musik Agus Bing.

Bagus, puisi yang murni memang membuat orang mudah untuk bersatu jiwa dalam kedamaian. Tapi, seberapa banyak orang yang hidupnya memerlukan puisi? Itulah hal yang menjadi pikiran saya sepulang dari Pesta Penyair Nusantara di Kediri minggu yang lalu. ***

Sumber : Jawa Pos, Minggu 13 Juli 2008