Powered By

Free XML Skins for Blogger

Powered by Blogger

blog-indonesia.com

09 Juli 2007

Cerpen

Mutiara Pesisir Utara

"Mari dik, silahkan masuk", bapak tua itu mempersilahkan aku dan temanku serta beberapa gerombol orang, tampaknya para pemuda kampung ini, masuk ke dalam rumahnya yang sangat sederhana. Kami semua baru pulang dari sebuah konsolidasi yang dilakukan di desa Lumbung yang jaraknya kurang lebih 25 kilometer dari desa ini. Perjalanan pulang dari desa Lumbung kami tempuh dengan naik truk bersama para penduduk yang ikut konsolidasi pada malam itu. Ada dua truk yang mengangkut kami. Desa yang aku tuju namanya desa Kapu. Letaknya di pesisir utara Pulau Jawa. Jangan bayangkan bahwa jalan masuk ke desa ini mudah ditempuh. Justru sebaliknya, kondisi jalannya sangat buruk. Banyak lobang di sana-sini yang terpaksa truk yang kami tumpangi harus berhati-hati. Sedikit kesalahan saja bisa berakibat fatal karena di samping jalan adalah jurang terjal. Sangat memprihatinkan dimana infrastruktur jalan menuju desa ini tidak diperhatikan sama sekali oleh pemerintah daerah setempat. Mereka terlalu mementingkan pembangunan di pusat kota. Mengabaikan kepentingan penduduk pinggiran yang sangat jelas mereka juga membutuhkan akses ke kota untuk menjual hasil panen dan kepentingan sosial ekonomi lainnya.

Sebelum masuk ke desa ini, aku disuguhi dengan pemandangan hutan yang begitu lebat. Malam hari telah membuat suasana hutan ini menjadi tampak garang namun bersahabat. Dia seolah bangga menunjukkan keperkasaannya pada semua makhluk yang ada disekitar dan membuatnya tunduk ketika harus melewatinya. Setelah satu setengah jam berlalu, akhirnya kami pun sampai di desa Kapu. Sebuah perjalanan yang sama melelahkannya dari Jogja - Semarang, bahkan lebih melelahkan. Akhirnya kami semua berkumpul di rumah salah seorang warga yang ikut konsolidasi tadi. Malam ini terasa hening. Angin bertiup lamban penuh irama. Menyapu dan membelai pohon-pohon disekitar. Menimbulkan irama gemerisik yang teratur. Terdengar pula dengan jelas suara kinjeng dan jangkrik yang mencoba berkolaborasi dengan angin malam serta suara burung hantu yang menjadi satu symphoni alam. Sebuah orkestra yang sangat indah. Mengalun pelan dan sesekali menciptakan hentakan. Satu kesatuan bertempo alledante dan allegro. Aku merasa nyaman. Damai. Penuh ketenangan.

"Jadi adik berdua ini namaya siapa dan darimana?" kata bapak tua itu memulai percakapan. " Kan sedari tadi kami semua di sini belum sempat berkenalan dengan sampeyan."

"Saya Agus, pak" demikian aku memperkenalkan diri.

"Dan saya Anton" sambung temanku.

"Kami berdua dari Jogja. Kedatangan kami tak lain adalah ingin mencoba berdinamika bersama para warga di sini. Kami ingin belajar banyak tentang kondisi di kampung ini, pak" begitulah aku mengutarakan maksud kedatangan ku dan temanku.

"Berarti sampeyan yang akan membantu kami untuk persiapan acara tani lusa?" tanyanya.

"Benar, pak" jawab Anton.

"Nama saya Wiro. Sebenarnya saya bukan kepala kampung di sini. Namun, saya selalu dipercaya untuk mewakili setiap acara di Balai Desa dan acara rembug lainnya untuk menyampaikan aspirasi para warga di sini. Ya, bisa dibilang saya termasuk sesepuh di desa Kapu. Desa pinggiran yang semakin terpinggirkan" begitu penjelasannya.

"Terpinggirkan bagaimana,pak?"tanyaku

"Kami ini sudah miskin dik dan semakin dimiskinkan oleh mereka para penguasa perkebunan ini. Kalau dulu orang menyebutnya para setan desa. Kami yang bodoh ini telah banyak dibodohi oleh sistem".

Tiba-tiba seorang pemuda yang duduk di samping kiri pojok ikut bicara. "Kami semua di sini hampir tidak memiliki apa yang seharusnya kami miliki. Harta berharga yang kami miliki tidak jelas statusnya. Harta yang mampu menyambung penghidupan kami. Tanah."...selengkapnya

cerpen

Dini Benci Sekolah


Inilah hari yang paling ditunggu-tunggu oleh Dini. Hari kelulusan. Setelah dua belas tahun lamanya ia lewati penuh kebosanan di sebuah tempat yang namanya sekolah. Sudah lama ia ingin keluar dari tempat itu yang membuatnya merasa seperti terpenjara. Terkekang kebebasannya untuk menikmati dunia yang sebenarnya. Melihat realitas dengan jelas tanpa terkurung dalam keangkuhan tembok tinggi dan terisolasi oleh kurikulum yang membatasi. Mencoba membongkar kebenaran yang banyak tertutupi oleh sebuah doktrinasi lama dengan wajah baru. Muak!. Semua itu memuakkan. Sekolah membuatnya merasa seperti mesin fotokopi yang harus menggandakan dan menyalin sama dengan aslinya. Semakin banyak dibuat dan diedarkan semakin bagus. Layaknya robot mekanik yang terprogram paten untuk menuruti kemauan si pencipta. Menjalankan semua perintah. Tak akan bergerak bila tidak digerakkan. Semakin menurut semakin dielu. Dan segera orang akan memberikan predikat "pintar" dengan murah layaknya barang yang diobral.


Seandainya Ki Hajar Dewantara masih hidup tentu semua akan tampak lain di mata Dini. Dia memang sangat kagum dengan sosok Bapak Pendidikan Indonesia ini. Dia belajar banyak tentang biografi dan filosofi pemikirannya dari beberapa buku koleksi di perpustakaan pribadi milik kakeknya yang dia baca. Dia ingin sekali bersinggungan langsung, diajar dan menimba ilmu pada sosok Ki Hajar Dewantara yang lahir di Yogyakarta pada 2 Mei 1889. Menikmati bagaimana rasanya bersekolah di Taman Siswa. Namun sayang Tuhan mengha dirkanya di dunia lewat rahim sang ibu di jaman dimana segala sesuatu ditentu kan oleh uang. Akhirnya, ia hanya bisa mendengar cerita tentang kejayaan pendidikan di negeri ini dari mulut sang kakek yang dulu pernah menikmati suasana sekolah di Taman Siswa dan dari buku-buku kusam yang masih tersimpan rapi di rak....selengkapnya